tag:blogger.com,1999:blog-31327474226159465462023-11-16T01:29:21.530+07:00Abu Abdillah Muhammad ibnu HasanAbu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-25116435404035145152009-01-17T08:20:00.002+07:002009-01-17T08:25:36.654+07:00YAHUDI MENGGALI KUBURANNYA SENDIRI DI TANAH PALESTINAYAHUDI MENGGALI KUBURANNYA SENDIRI DI TANAH PALESTINA<br /><br />Wahai putera-putera kera dan babi…<br /><br />Para pembunuh Rasul Alloh dan para Nabi…<br /><br />Dirikanlah terus dan bangunlah kehancuranmu di tanah muqoddas<br /><br />Kau jemput kebinasaanmu dengan hujaman lemparan batu cadas<br /><br />Tinggikanlah bangunanmu sesuka hatimu<br /><br />Sesungguhnya kehancuranmu akan menimpamu<br /><br />Tidak lama lagi waktumu akan tiba untuk merana<br /><br />Dan ketetapan Alloh pastilah terlaksana<br /><span class="fullpost"><br /><br />Untuk saudara-saudaraku yang terbakar oleh kemarahan karena Alloh<br /><br />Melihat saudara-saudara muslimin yang dibantai di bumi Alloh<br /><br />Oleh bangsa keturunan kera dan babi yang dilaknat oleh Alloh<br /><br />Bersabarlah… karena sesungguhnya kemenangan itu ada di tangan Alloh<br /><br />Yang akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan Alloh<br /><br />Nubuwat al-Qur’an tentang kebinasaan Bangsa Yahudi<br /><br />Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Alloh…<br /><br />Berbesar hatilah, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : “Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS al-Israa’ : 4-8)<br /><br />Berkata Syaikhuna Salim bin ‘Ied al-Hilaly Hafizhahullahu wa Nafa’allahu bihi mengenai ayat ini :<br /><br />Pertama : Ayat ini menegaskan terjadinya dua kerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil. Sekiranya dua kerusakan yang dimaksud sudah terjadi pada masa lampau, maka sejarah telah mencatat bahwa Bani Israil telah berbuat kerusakan berkali-kali, bukan hanya dua kali saja. Akan tetapi yang dimaksudkan di dalam Al-Qur’an ini merupakan puncak kerusakan yang mereka lakukan. Oleh karena itulah Alloh mengirim kepada mereka hamba-hamba-Nya yang akan menimpakan azab yang sangat pedih kepada mereka.<br /><br />Kedua : Dalam sejarah tidak disebutkan kemenangan kembali Bani Israil atas orang-orang yang menguasai mereka terdahulu. Sedangkan ayat di atas menjelaskan bahwa Bani Israil akan mendapatkan giliran mengalahkan musuh-musuh yang telah menimpakan azab saat mereka berbuat kerusakan yang pertama. Alloh mengatakan : “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali.”<br /><br />Ketiga : Sekiranya yang dimaksudkan dengan dua kerusakan itu adalah sesuatu yang telah terjadi, tentulah tidak akan diberitakan dengan lafazh idza, sebab lafazh tersebut mengandung makna zharfiyah (keterangan waktu) dan syarthiyah (syarat) untuk masa mendatang, bukan masa yang telah lalu. Sekiranya kedua kerusakan itu terjadi di masa lampau, tentulah lafazh yang digunakan adalah lamma bukan idza. Juga kata latufsidunna (Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan), huruf laam dan nuun berfungsi sebagai ta’kid (penegasan) pada masa mendatang.<br /><br />Keempat : Demikian pula firman Alloh : “dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana” menunjukkan sesuatu yang terjadi pada masa mendatang. Sebab tidaklah disebut janji kecuali untuk sesuatu yang belum terlaksana.<br /><br />Kelima : Para penguasa dan bangsa-bangsa yang menaklukan Bani Israil dahulu adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala. Namun bukankah Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam ayat di atas : “kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar”. Sifat tersebut mengisyaratkan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beriman, bukan orang-orang musyrik atau penyembah berhala. Pernyertaan kata “kami” dalam kalimat di atas sebagai bentuk tasyrif (penghormatan). Sementara kehormatan dan kemuliaan itu hanyalah milik orang-orang yang beriman.<br /><br />Keenam : Dalam aksi pengerusakan kedua yang dilakukan oleh Bani Israil terdapat aksi penghancuran bangunan-bangunan yang menjulang tinggi (gedung pencakar langit). Sejarah tidak menyebutkan bahwa pada zaman dahulu Bani Israil memiliki bangunan-bangunan tersebut.<br /><br />Kesimpulan : Hakikat dan analisa ayat-ayat di atas menegaskan bahwa dua aksi pengerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil akan terjadi setelah turunnya surat al-Israa’ di atas.<br /><br />Realita : Sekarang ini bangsa Yahudi memiliki daulah di Baitul Maqdis. Mereka banyak berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka membunuhi kaum wanita, orang tua, anak-anak yang tidak mampu apa-apa dan tidak dapat melarikan diri. Mereka membakar tempat isra’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan merobek-robek kitabullah. Mereka melakukan kejahatan di mana-mana hingga mencapai puncaknya. Mereka menyebarkan kenistaan, kemaksiatan, kehinaan, pertumpahan darah, pelecehan kehormatan kaum muslimin, penyiksaan dan pelanggaran perjanjian.<br /><br />Jadi, aksi pengerusakan yang kedua sedang berlangsung sekarang dan telah mencapai titik klimaks dan telah mencapai puncaknya. Sebab tidak ada lagi aksi pengerusakan yang lebih keji daripada yang berlangsung sekarang.<br /><br />Adakah aksi yang lebih keji daripada membakar rumah Alloh?<br /><br />Adakah aksi pengerusakan yang lebih jahat daripada merobek-robek kitabullah dan menginjak-injaknya?<br /><br />Adakah aksi pengerusakan yang lebih sadis daripada membunuhi anak-anak, orang tua dan kaum wanita serta mematahkan tulang mereka dengan bebatuan?<br /><br />Adakah aksi pengerusakan yang lebih besar daripada pernyataan perang secara terang-terangan siang dan malam melawan Islam dan para juru dakwahnya?<br /><br />Sungguh demi Alloh, itu semua merupakan aksi pengerusakan yang tiada tara!!!<br /><br />Lalu Alloh Azza wa Jalla melanjutkan firman-Nya : “dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.<br /><br />Artinya, hamba-hamba Alloh kelak akan meruntuhkan apa saja yang dibangun dan dikuasai oleh bangsa Yahudi. Mereka akan menggoyang benteng Yahudi dan meluluhlantakkan serta meratakannya dengan tanah. Sebelumnya, tidak pernah disaksikan bangunan-bangunan menjulang tinggi di tanah Palestina kecuali pada masa kekuasaan Zionis sekarang ini. Gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah pemukiman dibangun di setiap jengkal tanah Palestina yang diberkahi.<br /><br />Kami katakan kepada mereka : Dirikanlah terus wahai anak keturunan Zionis, tinggikan bangunan sesukamu! Sesungguhnya kehancuran kalian di situ dengan izin Alloh. Dan tak lama lagi kalian akan luluh lantah dan tertimpa bangunan kalian itu! Dan Alloh takkan memungkiri janjinya : “dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana”.<br /><br />Penguasaan Masjidil Aqsha tidak disebutkan pada kali yang pertama dan disebutkan pada kali yang kedua. Sebab penguasaan Masjidil Aqsha oleh kaum muslimin akan berakhir. Kalaulah belum berakhir berarti penguasaan yang kedua merupakan lanjutan dari yang pertama. Akan tetapi berhubung penguasaan Masjidil Aqsha yang pertama akan berakhir, maka penguasaan untuk yang kedua kalinya merupakan peristiwa baru. Dan itulah realita yang terjadi! Penguasaan pertama telah berakhir sesudah bangsa Yahudi menguasai al-Quds serta beberapa wilayah tanah Palestina lainnya dalam satu serangan yang sangat sporadis pada tahun 1967, orang-orang menyebutnya tahun kekalahan. Sebelumnya pada tahun 1948 mereka sebut dengan tahun kemalangan.<br /><br />Penguasaan yang pertama berakhir disebutkan karena adanya faktor penghalang yang menghalangi kaum muslimin untuk menguasainya. Penghalang itu merupakan musuh bagi Islam dan kaum muslimin. Dan cukuplah Yahudi sebagai musuh bebuyutan yang sangat menentang Islam, kaum muslimin dan para pembela Islam.<br /><br />Maka kita harus membebaskan tanah kita yang dirampas dan membuat perhitungan dengan mereka serta menyalakan api kebencian terhadap mereka!!! Sudah tergambar pada wajah mereka tanda-tanda kemalangan dan kehinaan. Kaum muslimin akan kembali menguasai Masjidil Aqsha –insya Alloh- sebagaimana kaum salafus shalih menguasainya pertama kali. Sebab kehancuran kedua yang telah dijanjikan oleh Alloh dalam firman-Nya : “dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama”.<br /><br />Kita sedang menanti peristiwa itu sebagai kebenaran janji Alloh dan kebenaran berita-berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pada hari itu kaum muslimin bergembira dengan pertolongan dari Alloh Azza wa Jalla.<br /><br />Nubuwat as-Sunnah ash-Shahihah tentang Kebinasaan Bangsa Yahudi<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mengabarkan bahwa kaum muslimin akan berperang melawan bangsa Yahudi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :<br /><br />“Tidak akan tiba hari kiamat sehingga kaum muslimin berperang melawan Yahudi. Sampai-sampai apabila orang Yahudi bersembunyi di balik pepohonan atau bebatuan, maka pohon dan batu itu akan berseru, ‘wahai Muslim, wahai hamba Alloh, ini orang Yahudi ada bersembunyi di balikku, kemarilah dan bunuhlah ia.’ Kecuali pohon Ghorqod, karena ia adalah pohon Yahudi.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu).<br /><br />Diriwayatkan oleh Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Kalian benar-benar akan membunuhi kaum Yahudi, sampai-sampai mereka bersembunyi di balik batu, maka batu itupun berkata, ‘wahai hamba Alloh, ini ada Yahudi di belakangku, bunuhlah dia!’.”<br /><br />Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa :<br /><br />Pertama : Akan datang masa sebelum datangnya hari kiamat bahwa kaum muslimin dan bangsa Yahudi akan mengalami peperangan besar dan ini adalah suatu hal yang pasti akan terjadi.<br /><br />Kedua : Bangsa Yahudi akan dibantai oleh kaum muslimin, dan hal ini terjadinya di bumi Palestina, dan saat itu seluruh pepohonan dan bebatuan yang dijadikan tempat persembunyian bangsa Yahudi akan berseru memanggil kaum muslimin untuk membunuh mereka, kecuali pohon Ghorqod.<br /><br />Ketiga : Hal ini menunjukkan bahwa kemenangan berada di tangan Islam dan kehinaan akan meliputi bangsa Yahudi yang terlaknat dan terkutuk.<br /><br />Keempat : Berkaitan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda “latuqootilunna” (Kalian benar-benar akan membunuhi kaum Yahudi) yang disertai dengan lam dan nun sebagai ta’kid (penegasan) akan kepastian hal ini. Khithab (seruan) Nabi ini adalah kepada para sahabat, hal ini menunjukkan secara sharih bahwa masa depan adalah milik Islam saja –biidznillahi-, namun haruslah dengan metode para sahabat Nabi dan kaum salaf yang shalih.<br /><br />Kelima : Berkaitan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu di atas, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda tentang seruan batu dan pohon : “Wahai muslim, wahai hamba Alloh…” yang menunjukkan manhaj tarbawi (pendidikan) ishlahi (pembenahan) yang ditegakkan di atas manifestasi tauhid dan al-‘Ubudiyah (penghambaan) yang merupakan cara di dalam menegakkan syariat Islam di muka bumi dan melanggengkan kehidupan Islami berdasarkan manhaj nabawi.<br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-11849315832836332692009-01-17T08:15:00.003+07:002009-01-17T08:19:10.357+07:00Risalah tuk Saudara TercintaRisalah tuk Saudara Tercinta<br /><br />Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim<br /><br /><br /><br />الحمد لله وكفى، وصلاة وسلاما على عباده الذين اصطفى .. أما بعد :<br /><br />Sesungguhnya setiap manusia akan mengalami kesudahan. Betapa pun lezatnya dia merasakan kenikmatan hidup di dunia, betapa pun panjang umurnya, betapa pun dia memuaskan syahwat dan meneguk kenikmatan dunia, dirinya tetap akan mengalami kesudahan. Kematian! Itulah kesudahan tersebut. Sesuatu yang tidak dapat dihindari. Allah ta’ala berfirman,<br /><br />كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ<br /><br />“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)<br /><br /><br />Seorang penyair berkata,<br /><br />كل ابن أنثى وإن طالت سلامته<br /><br />يوما على آلة حدباء محمول<br /><br />Setiap manusia, betapa pun panjang umurnya<br /><br />Kelak di suatu hari, dirinya akan terusung di atas keranda<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />Pada hari tersebut seluruh makhluk kembali menghadap kepada Allah jalla wa ‘ala agar seluruh amalan mereka dihisab. Allah ta’ala berfirman,<br /><br />وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ<br /><br />“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 281)<br /><br />Hari yang sering terlupakan, hari yang paling akhir, hari di mana kerongkongan tersekat. Tiada hari setelahnya dan tidak ada yang semisal dengannya. Itulah hari yang dahsyat dan telah Allah tetapkan bagi seluruh makhluk-Nya, baik yang muda maupun yang tua, yang terpandang maupun yang hina. Itulah hari kiamat, pertemuan yang telah dijanjikan.<br /><br />Namun sebelum itu, ada waktu di mana setiap manusia berpindah dari kampung yang penuh tipu daya menuju kampung abadi sesuai dengan amalannya. Pada waktu itu, manusia akan melayangkan pandangannya yang terakhir kali kepada anak dan kerabatnya, dirinya akan memandang dunia ini untuk kali yang terakhir. Di saat itulah, tanda-tanda sekarat akan nampak di wajahnya. Muncul rasa sakit dan tarikan nafas yang teramat dalam dari lubuk hatinya.<br /><br />Di waktu itu, manusia akan mengetahui betapa hinanya dunia ini. Di waktu itu, dirinya akan menyesali setiap waktu yang telah disia-siakannya. Dirinya akan memanggil, “Wahai Rabb-ku!”,<br /><br />رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ<br /><br />“Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100)<br /><br />Di waktu itulah, kebinasaan dan kematian akan menjemputnya. Malaikat maut akan menghampirinya seraya memanggil dirinya. Duhai! Apakah yang akan dia serukan? Seruan menuju surga ataukah seruan menuju neraka?!!<br /><br />Ketahuilah, sesungguhnya pengasingan yang hakiki adalah pengasingan dalam lahad tatkala diri diliputi kain kafan. Tidakkah anda membayangkan bagaimana anda diletakkan di atas dipan, tiba-tiba tangan para handai taulan mengguncang tubuh anda (agar anda tersadar). Sekarat semakin keras anda alami dan kematian menarik ruh anda di setiap urat. Kemudian ruh tersebut kembali menuju kepada Pencipta-nya. Alangkah dahsyatnya kejadian itu!<br /><br />Para keluarga pun datang dan menyalati anda, kemudian menurunkan jasad anda ke dalam kubur. Sendirian, tanpa seorang pun yang menemani. Ibu dan bapak tidak lagi menemani, saudara pun tidak ada yang akan menenangkan.<br /><br />Di sanalah seorang akan merasakan keterasingan dan ketakutan yang teramat sangat. Dalam sekejap, hamba akan berpindah dari kampung yang hina menuju negeri yang dipenuhi kenikmatan jika dirinya termasuk seorang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal yang shalih. Atau sebaliknya, dia akan menuju negeri kesengsaraan dan dipenuhi azab yang pedih, bila dirinya termasuk seorang yang buruk amalnya dan senang mendurhakai Sang Pencipta jalla wa ‘ala.<br /><br />Sisi kehidupan dunia yang menipu telah dilipat, dan nampaklah di hadapan hamba ketakutan di hari kebangkitan. Hiburan dan kesenangan berlalu, dan yang tersisa hanyalah kelelahan (di hari berbangkit). Dalam sekejap, lembaran hidup seorang tertutup, entah lembaran hidupnya diwarnai dengan kebaikan atau sebaliknya diwarnai dengan keburukan. Timbul dalam hati, penyesalan terhadap hari-hari yang telah dilalui dalam keadaan lalai dari mengingat Allah dan hari akhir.<br /><br />Demikianlah, dunia dan seisinya berlalu dan berakhir sedemikian cepatnya. Dan sekarang dirinya menghadapi tanda-tanda kesengsaraan di depan matanya. Ruhnya kembali kepada penciptanya dan berpindah menuju kampung akhirat dengan berbagai keadaannya yang begitu menakutkan. Dalam sekejap, dirinya kembali menjadi sesuatu yang tidak dapat disebut. Dalam sekejap, seorang singgah di awal persinggahan akhirat dan menghadapi kehidupan yang baru. Entah itu kehidupan yang bahagia, atau kehidupan yang mengenaskan. Wal ‘iyadzu billah.<br /><br />Terdapat kubur yang penghuninya saling berdekatan dan berbeda-beda tingkat keshalihannya, itulah kubur yang didiami oleh penghuni yang senantiasa merasakan kenikmatan dan kesenangan.<br /><br />Ada pula kubur yang terletak di lapis terbawah dan dipenuhi siksaan yang teramat pedih. Penghuninya berteriak, namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Dirinya meminta agar dikasihani, namun tidak seorang pun yang mampu memenuhi permintaannya.<br /><br />Kemudian, dirinya akan menemui hari yang telah dijanjikan. Suatu hari, ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan demikian pula langit dan seluruh makhluk di Padang Mahsyar berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Suatu hari, yang pada hari itu seorang tidak mampu menolong orang yang dikasihinya sedikit pun.<br /><br />Tatkala malaikat penyeru memanggil, keluarlah seluruh mayit dari kubur menuju Rabb-nya dalam keadaan bertelanjang kaki, tak berbaju dan tidak berkhitan. Mereka tidak lagi memiliki pertalian nasab, juga kemuliaan, tidak pula kedudukan dan harta.<br /><br />فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ . فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ . تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ<br /><br />“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan. Barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam. Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat.” (QS. Al Mukminuun: 101-104).<br /><br />Pada hari itu, Allah mengumpulkan seluruh umat, baik yang terdahulu maupun yang datang kemudian. Di hari itu, kecemasan dan kesabaran tercerai berai. Pada hari itu, berbagai catatan amal disebar dan dipancanglah berbagai timbangan amal. Di hari itu, seorang akan lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, juga dari istri dan anaknya. Hari di mana seorang pelaku maksiat (kafir) menginginkan, jika sekiranya dia dapat menebus dirinya dari azab hari itu dengan anak-anaknya, istrinya, saudaranya serta kaum kerabat yang telah melindunginya di dunia.<br /><br />Wahai Saudara Tercinta<br /><br />Wahai anda yang bermaksiat kepada Allah. Bayangkanlah dirimu berdiri di antara para makhluk, lalu anda dipanggil, “Manakah gerangan fulan bin fulan? Mari bergegas ke hadapan Allah!” Engkau pun menggigil ketakutan, kedua kaki dan seluruh tubuhmu gemetar ketakutan. Raut wajahmu pun berubah dan dirimu diliputi kegelisahan, kebingungan dan kerisauan yang hanya Allah-lah mengetahui (keadaanmu).<br /><br />Bayangkanlah dirimu berdiri di hadapan Sang Pencipta langit dan bumi, sementara hati dan anggota tubuhmu ketakutan, dengan pandangan tertunduk lagi hina. Tangan anda memegang catatan amal yang berisikan segala amalan anda yang rendah lagi hina. Anda pun membacanya dengan lidah yang kelu dan hati yang kacau. Dirimu pun merasa malu terhadap Zat yang senantiasa berbuat baik kepadamu dan selalu menutup aibmu.<br /><br />Maka jawablah! Bagaimanakah anda akan menjawab, ketika Dia bertanya kepadamu tentang suatu kesalahan yang merupakan dosa terbesarmu? Bagaimanakah anda akan berdiri di hadapannya dan sanggupkah engkau memandangnya? Bagaimana hati anda sanggup menahan perkataan-Nya yang mulia serta berbagai pertanyaan dan teguran-Nya?<br /><br />Bagaimana jika Dia mengingatkan terhadap segala bentuk penentanganmu terhadap-Nya, kemaksiatan yang anda lakukan, kurangnya perhatian terhadap larangan dan pengawasan-Nya terhadap dirimu? Bagaimana jika Dia mengingatkan akan lemahnya perhatianmu untuk menaati-Nya di dunia?<br /><br />Apa yang akan anda katakan jika Dia bertanya kepadamu, “Wahai hamba-Ku, mengapa engkau tidak memuliakan-Ku?! Apakah engkau tidak malu kepada-Ku?! Apakah engkau tidak merasa bahwa Aku mengawasimu?! Bukankah Aku telah berbuat baik dan memberikan nikmat kepadamu?! Apakah yang telah memperdayakanmu sehingga berbuat durhaka kepada-Ku?<br /><br />Wahai Saudara Tercinta<br /><br />Bayangkanlah para pelaku kebaikan tatkala dikeluarkan dari kubur! Wajah mereka bersinar putih sebagai tanda kebajikan yang telah mereka lakukan. Mereka keluar dari kubur dengan tanda tersebut sebagai anugerah dari Allah Zat yang Mahamulia. Para malaikat menyambut mereka sembari berkata, “Inilah hari yang telah dijanjikan kepada kalian”. Bayangkanlah tatkala Allah ta’ala berkata, “Wahai para malaikat-Ku, masukkanlah para hamba-Ku ke dalam surga yang dipenuhi berbagai kenikmatan, masukkanlah mereka ke dalam keridaan yang agung.” Segala puji bagi Allah, mereka pun hidup dalam kehidupan yang menyenangkan. Surga-surga dibukakan bagi mereka, bidadari mengelilingi untuk melayani mereka. Hilanglah sudah, kecemasan dan keletihan yang mereka alami.<br /><br />Sebaliknya, bayangkanlah nasib jiwa yang zalim lagi gemar bermaksiat kepada-Nya. Allah berkata kepada malaikat-Nya, “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Sungguh amarah-Ku telah memuncak terhadap orang yang tidak malu ketika bermaksiat kepada-Ku.”<br /><br />Akhirnya, jiwa yang zalim lagi penuh dosa menghuni neraka yang menyala dan bergemuruh. Jiwa tersebut senantiasa berangan-angan, jika sekiranya ia mampu kembali ke dunia agar dapat bertaubat kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih. Namun, hal tersebut mustahil terjadi. Maka tertelungkuplah ia di atas keningnya, terjatuh ke dalam jurang-jurang kegelapan dan terombang-ambing di antara tangga-tangga neraka dan lapisan neraka terbawah, terombang-ambing di antara penyesalan dan malapetaka.<br /><br />Alangkah jauh perbedaan kedua golongan tersebut, antara mereka yang berada dalam surga dan mereka yang berada dalam neraka. Sungguh benar firman Allah,<br /><br />إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ . وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al Infithaar: 13-14).<br /><br />Wahai Saudara Tercinta<br /><br />Bagi anda yang membaca risalah ini, rehatlah sejenak dan mari berintrospeksi diri! Jika anda termasuk golongan yang bersegera dalam melaksanakan ketaatan dan peribadatan kepada Allah serta menjauhi maksiat dan kedurhakaan kepada-Nya, maka pujilah Allah atas nikmat tersebut, mohonlah keteguhan kepada-Nya hingga maut datang menjemput dan dengan seizin Allah kenikmatan akan anda raih tanpa ada yang merebutnya darimu.<br /><br />Namun, jika anda tidak termasuk di dalamnya, maka segeralah bertaubat kepada Allah dan kembalilah ke jalan petunjuk. Janganlah anda menentang dan senantiasa mengerjakan maksiat, karena hal tersebut akan menghantarkan anda kepada adzab Allah.<br /><br />Sungguh diri anda teramat lemah untuk memikul dan menahan adzab-Nya. Gunung yang tinggi lagi kokoh jika dilabuhkan sejenak di neraka, maka dia akan meleleh dikarenakan panasnya yang teramat sangat. Bagaimana dengan diri anda, wahai manusia yang lemah?<br /><br />Anda mungkin dapat sabar dalam menahan lapar dan dahaga, juga mampu untuk sabar menahan derita musibah dan beban hidup. Namun, demi Allah, Zat yang tiada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya, anda tidak akan mampu bersabar dalam menahan azab neraka.<br /><br />Jauhkanlah diri anda dari azab neraka selama di dunia ini, sebelum penyesalan menghampiri anda dan waktu tidak mampu terulang kembali. Ketahuilah, bersabar untuk meninggalkan perkara yang diharamkan di dunia ini lebih mudah ketimbang bersabar menahan azab-Nya di hari kiamat kelak.<br /><br />Ketahuilah saudaraku, menempuh jalan keteguhan tidaklah sulit untuk dijalani dan mengekang kebebasan seperti anggapan sebagian orang. Justru, di dalamnya terdapat kebahagiaan, kelezatan, kenyamanan dan ketenangan. Apalagi yang manusia butuhkan di kehidupan ini selain hal tersebut?<br /><br />Sebaliknya, kehidupan yang diwarnai kemaksiatan dan kedurhakaan, seluruhnya dipenuhi oleh rasa cemas, kemalangan dan kerugian di dunia serta akan dilanjutkan dengan kepedihan azab di akhirat kelak.<br /><br />Tempuhlah jalan petunjuk itu wahai saudaraku dan janganlah dirimu ragu. Sesungguhnya, diriku hanyalah pemberi nasihat bagi diriku sendiri dan bagimu dan sudilah kiranya dirimu menerimanya.<br /><br />Selesai diterjemahkan dari artikel “Rihlah ilaa Daaril Qarar” tanggal 23 Dzulqa’dah 1428 H<br /><br />وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين<br /><br /><br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-19232795116385958332009-01-10T10:42:00.001+07:002009-01-10T10:47:41.731+07:00RINSIP-PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH KHILAFIYAHOleh<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin<br /><br /><br />Pertanyaan<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah khilafiyah ? Dan apakah batasan masalah-masalah tersebut ?<br /><br />Jawaban<br />Prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah (adalah) bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad dan (masalah itu) termasuk masalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya, maka (hendaknya) satu dengan yang lain saling memaafkan dengan perbedaan tersebut. Hendaknya mereka tidak menjadikan perbedaan perbedaan ini termasuk dalam perbedaan yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Dan siapa yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil maka pada hakikatnya dia tidaklah menyelisihi saya, karena manhaj tetap satu, baik saya yang menyelisihinya sesuai dengan konsekwensi dalil atau dia yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil. Kalau begitu, maka kita sama. Dan perbedaan pendapat tetap ada dalam umat (ini) sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />Adapaun (masalah) yang tidak dibenarkan adanya khilaf adalah masalah yang menyelisihi perjalanan para sahabat dan tabi’in, seperti masalah-masalah aqidah orang-orang yang sesat. Dan waktu munculnya khilaf adalah setelah masa-masa yang mendapatkan keutamaan (Al-Quruun Al-Mufadhdhalah). Artinya khilaf belumlah tersebar dan meluas kecuali setelah Al-Quruun Al-Mufadhdhalah tersebut, walaupun sebagian khilaf dalam (masalah-masalah tersebut) terjadi di masa sahabat.<br /><br />Namun harus diketahui jika kita katakan : (Setelah) masa sahabat, tidaklah itu berarti semua sahabat harus telah meninggal dunia, akan tetapi (yang dimaksud) adalah masa di saat tidak ada lagi ditemukan mayoritas para sahabat. Karena anda sekalian mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan ajal manusia itu saling susul menyusul. Misalnya jika kita katakan : Bahwa masa sahabat tidak berakhir kecuali bila tidak lagi tersisa satupun dari mereka, maka tentulah kita akan melewati begitu banyak dari masa tabi’in. Akan tetapu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sesungguhnya suatu masa itu dihukumi selesai jika kebanyakan penghuninya telah tiada”. Maka apabila mayoritas sahabat –misalnya- telah tiada dan mereka tidak lagi tersisa mereka kecuali puluhan atau ratusan yang sedikit, maka ini berarti bahwa masa mereka telah berakhir, dan begitu pula dengan para tabi’in, serta demikian pula para pengikut mereka (atba’ At-Tabi’in) hingga masa kita ini.<br /><br />Maka Al-Quruun Al-Mufadhdhalah telah selesai, dan tidak ditemukan adanya khilaf yang belakangan tersebar dalam masalah-masalah aqidah. Dan mereka yang menyelisihi kita dalam masalah aqidah (sebenarnya) mereka menyelisihi apa yang dijalani oleh para sahabat dan tabi’in, maka mereka itu harus diingkari dan tidak boleh diterima khilaf mereka.<br /><br />Adapun masalah-masalah khilaf yang terdapat di masa sahabat, dan memungkinkan terjadi ijtihad di dalamnya maka tentulah khilaf ini akan tetap (ada). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“Artinya : Apabila seorang hakim menetapkan hukum, berijtihad, lalu benar (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad lalu salah (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan satu pahala” [1]<br /><br />Inilah batasannya. Jika ada yang mengatakan : Apakah khilaf tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dibenarkan ? Maka kita katakan : Tidak, karena khilaf ini telah keluar dari manhaj para sahabat, sebab tidak pernah ada dua orang sahabat berselisih dalam masalah sifat Allah. Mereka semua meyakini sifat-sifat Allah itu benar sesuai dengan hakikatnya, tanpa (melakukan) tamtsil (permisalan). Dalil bahwa mereka meyakini hal tersebut adalah belum pernah ada khilaf di antara mereka dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang terdapat dalam masalah sifat-sifat (Allah). Maka apabila tidak terdapat khilaf di kalangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia atau hadits-hadits nabawi, maka ini berarti mereka berpegang pada yang demikian, karena Al-Qur’an adalah ‘arabi (diturunkan dengan bahasa Arab,-pent) dan As-Sunnah juga disampaikan dengan bahasa Arab, sedang mereka mengetahui bahasa Arab.<br /><br />Bila tidak terdapat dari mereka sesuatu yang menyelisihi zhahir ayat atau hadits, maka kita mengetahui bahwa mereka berpegang pada zhahir ayat dan hadits itu. Oleh karenanya, kita ingkari setiap orang yang mengatakan (berpendapat) yang menyelisihi madzhab As-Salaf dalam masalah sifat-sifat Allah. Atau jika anda ingin mengatakan : Dalam masalah iman seluruhnya ; iman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir serta Qadar yang baik maupun yang buruk, maka setiap orang yang menyelisihi apa yang dahulu dijalani oleh para sahabat dalam keenam perkara ini, maka kita pun mengingkarinya dan tidak mengakuinya.<br /><br />[Disalin dari kitab Al-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Muhammad Ihsan Zainuddin, Penerbit Darul Haq]<br />__________<br />Foote Note<br />[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari No. 7353 dalam Kitab Al-I’thisham bab Ajrul Haakim Idza Ijthada Faashaba Auw Akhta'a, dan Muslim No. 1716 dalam Kitab Al-Uqdhiyah bab Bayaan Ajril Haakim Idza Ijtahada Faashaba Auw Akhta’a dari hadits ‘Amru Ibn Al-‘Ash Rasdhiyallahu ‘anhu.<br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-37954313424283245212009-01-10T10:35:00.001+07:002009-01-10T10:40:42.875+07:00Nasehat Akhir Tahun 1430 H ..........!, 29 December 2008Apa Yang Kamu Tinggalkan di Tahun Kemarin....?<br /><br />Oleh : Ummu Abdurrahman Bintu Muhammad "Arafat<br />Dinukil dari Majalah as Sunnah<br /><br />Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Allah, dan perhatikanlah pergantian siang dan malam. karena pada hakekatnya, itu merupakan perjalanan yang sedang engkau tempuh menujuh akhirat. setiap ada hari yang berlalu, itu berarti engkau semakin jauh dari duniamu dan semakin dekat ke akhiratmu.<br /><br />maka berbahagialah orang yang bisa mengisi eaktunya dengan sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya dengan Alllah Subhanahu wata'alah. berbahagialah orang yang menyibukan dirinya dengan ketaatan dan menghidari dari kemaksiatan. berbahagialah orang yang bisa mengambil pelajaran dari perbuatan berbagai masalah dan kondisi. berbahagialah orang yang menyakini adanya hikma-hikmah Allah yang agung dan rahasia-rahaasia-Nya (yang Dia ketahui), dengan melihat kepada perubahan berbagai hal dan kondisi.<br /><br />Firman Allah :<br /><br />سُوۡرَةُ النُّور<br />يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَۚ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَعِبۡرَةً۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَبۡصَـٰرِ (٤٤)<br /><br />Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Surah An Nuur 24:44)<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />Wahai sekalian manusia, sebentar lagi kamu akan berpisa dengan tahun yang lalu, yang akan menjadi saksi bagi kamu. dan kamu akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru,<br />maka apakah yang telah kamu titipkan di tahun ini.? dan dengan apa kamu akan menyambut tahun yang akan datang?<br /><br />Maka seseorang yang berakal hendaklah menginstropeksi dirinya, dan melihat urusannya. jika sekirahnya dia telah meninggalkan sesuatu kewajiban, maka segeralah bertaubat dan segeralah untuk memperbaiki apa yang di tinggalkannya. dan jika dia telah mendhalimi dirinya sendiri dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal yang haram, hendaklah dia bergegasmeninggalkannya sebelum kematia datang menjemput.<br /><br />Dan jika dia termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan hendaklah dia memohon agar tetap istiqomah sampai akhit hidupnya. (Dari Kitab Dhiya'ul Lami' Minal Khutabil Jawami' I/313-314 secara Bebas, Karya Asy Syaik Muhammad Ibnu Utsaimin Rahimahullah)<br /><br />Dalam hitungan hari, sebentar lagi kita akan menyambangi aawal bulan tahun hijriah, bulan itu ialah bulan Allah al- Muharam. sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah sallalahu alaihi waa sallam dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk agama.<br /><br />Sebagai mana tercantum dala kitab shahih Muslim nabi bersabda<br />"Siapa yang mengajak kepada sesuatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka (HR Muslim)<br />Pemuda sejati, demi Allah<br />ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan.<br /><br />Tidaklah dikatakan pemuda sejati<br />kalau tidak memiliki keduanya.<br /><br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-47564908896815719412008-12-29T10:06:00.000+07:002008-12-29T10:11:05.292+07:00MENUNGGU KEBERANIAN GOLONGAN AHMADINAHOleh : Ustadz Qomar Minhal<br /><br />Problematika yang timbul dari keberadaan penganut ajaran Ahmadiyah di tengah kaum muslimin tetap saja akan mencuat. Seiring dengan agresivitas golongan yang pertama kali muncul di daratan India itu dalam menyebarluaskan pemahaman-pemahaman si Nabi Palsu, antek penjajah Inggris.Sebagian orang meyakini kalau Ahmadiyah hanya sekedar firqoh (golongan sempalan) dalam Islam. Sebuah golongan yang mempunyai furu (dalam masalah fikih misalnya) yang berbeda dari golongan lainnya. Tidak ada titik perbedaan selain ini. Pendapat demikian ini dipatahkan oleh Syaikh Ihsan llahi Zhahir . Dalam keterangan beliau, seorang muslim hendaknya tahu betapa besar kesalahan asumsi di atas. Pasalnya, golongan yang juga dikenal nama Qadiyaniah tidak mempunyai hubungan apapun dengan Islam. Hanya saja mereka mengenakan baju Islam untuk mengecoh kaum muslimin.2 Berikut ini 2 (dua) fakta dari kitab-kitab mereka yang menguatkan kesimpulan tersebut, baik tulisan maupun pernyataan sang Nabi Palsu atau para penerus aqidah sesatnya. Wallahul Hadi3 Seorang Muslim Adalah Orang Kafir .<span class="fullpost"><br /><br /><br /> Sebelum Memeluk Agama Ahmadiyah<br /><br /><br /><br />Keterangan di atas tidak mengada-ada. Bila seorang muslim meninggal, maka tidak akan disholati oleh Ahmadiyyun, juga tidak boleh dikuburkan di pemakaman mereka. Selain itu pula, pernikahan antara seorang lelaki yang menganut agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad ^ dengan wanita penganut ajaran Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad (semoga memperoleh hukuman setimpal dari Allah ®& ) tidak boleh terjadi. Karena ia dalam pandangan 'Nabi' Ghulam Ahmad sudah kafir. Berikut ini penuturan dan pernyataannya: "Orang yang tidak beriman kepadaku, berarti ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya". 4<br /><br />Putranya yang meneruskan kedustaan sang ayah, Mahmud Ahmad menguatkan: "Seorang lelaki menemuiku di sebuah wilayah. la menanyakan mengenai berita yang telah beredar bahwa kalian mengkafirkan kaum muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah. Apakah itu memang benar. Maka saya menjawab, lya. Tidak diragukan lagi. Kami memang mengkafirkan kalian". Maka lelaki tersebut merasa aneh dan kaget". 5<br /><br />Anaknya yang lain, BasyTr Ahmad dengan tanpa malu-malu mengatakan: "Setiap orang yang beriman kepada Musa, tapi tidak beriman kepada Isa: , juga tidak beriman kepada Muhammad, maka dia kafir. Begitu pula orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad maka dia kafir juga, telah keluar dari Islam. Kami tidak mengatakan ini dari diri kami sendiri. Namun kami mengutip dari Kitabullah "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.."(Qs. an-Nisa/ 4:151) (Kalimatul Fas/7/, BasyTr Ahmad bin Nabi Palsu).<br /><br />Di sini bisa dilihat, bagaimana ia tak lupa mencatut dan membajak ayat al-Qur'an kepentingan golongannya yang lebih pantas disebut agama baru Ahmadiyah. Putra Ghulam pernah juga mengutip pernyataan Nuruddin, pengganti Ghulam yang pertama (Khalifah Ahmadiyah yang pertama setelah kebinasaan Nabi Palsu mereka) : "Sesungguhnya kaum muslimin selain penganut ajaran Qadiyaniah (Ahmadiyah) masuk dalam kandungan firman Allah : "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benamya". Kemudian ia membubuhkan catatan (ta'liq) setelah perkataan di atas, bunyinya: "Bagaimana mungkin orang yang mengingkari Musa 5$&jfe menjadi kafir dan terlaknat, yang mengingkari Isa juga kafir, sementara orang yang mengingkari Ghulam Ahmad tidak kafir. Padahal perkataan kaum mukminin adalah "Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,". Sementara mereka itu membedakan sikap terhadap para rasul. Oleh karena itu, orang yang mengingkari Ghulam Ahmad pasti orang kafir dan masuk dalam firman Allah : "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya" (Kalimatul Fashl, BasyTr Ahmad hal. 120, 174).<br /><br />Dalam kitab an-Nubuwwah Fil llham, hasil karya salah satu ulama Ahmadiyah termaktub: "Sesungguhnya Allah & berkata kepadanya (Si Nabi Palsu): "Orang yang mencintai-Ku dan menaati-Ku, wajib atas dirinya mengikutimu dan beriman kepadamu. Kalau tidak, ia belum mencintai-Ku. Bahkan sebaliknya, ia adalah musuh-Ku. Apabila para pengingkar menolak ini, atau bahkan mendustakanmu dan menyakitimu, maka Kami akan membalas mereka dengan balasan yang buruk, dan Kami persiapkan bagi orang-orang kafir itu Jahannam sebagai penjara bagi mereka". Lalu penulis berkomentar mengenai ilham di atas,'bahwa Allah & telah menjelaskan di sini bahwa orang yang mengingkari Ghulam adalah orang kafir dan balasannya Jahannam". (an-Nubuwwah Wal llham, Muhammad Yusuf al-Qadiyani hal. 40).<br /><br />Demikian cuplikan aqidah mereka tentang kaum muslimin melalui tulisan-tulisan sang Nabi palsu, keturunan dan tokoh agama mereka. Masih banyak aqidah buruk mereka yang lain, yang kian menegaskan kesimpulan di awal tulisan ini bahwa mereka bukan kaum muslimin lagi. Jadi, tinggal menunggu keberanian mereka untuk menyatakan dengan lantang dan keras bahwa mereka bukan kaum muslimin.<br /><br />Dengan ini tensi permusuhan kaum muslimin dengan mereka (mungkin) sedikit<br />banyak akan mereda.[6] Terpaksa Sholat Dengan Kaum Muslimin Karena Takut Terbongkar Jati Dirinya Bukan Muslim<br /><br />Karena vonis kafir yang mereka arahkan kepada kaum Muslimin, maka mereka tidak memperbolehkan sholat di belakang seorang muslim. Mesti dipastikan terlebih dahulu bahwa sang imam adalah juga penganut agama Ahmadiyah, sebelum mereka ikut serta dalam suatu sholat jamaah. Seandainya mereka ikut serta dalam sholat berjamaah dengan kaum muslimin, itu mereka lakukan sekedar untuk menutupi topeng mereka. Lantas mereka akan mengulangi sholat (ala mereka) di rumah.<br /><br />Sang Nabi Palsu berkata: "Inilah (keterangan di atas) adalah madzhabku yang sudah jelas. yakni, tidak boleh bagi kalian untuk sholat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Dalam kondisi apapun, siapapun imamnya, walaupun nanti memperoleh pujian dari orang-orang. Inilah hukum Allah dan kehendak Allah (?). Orang yang ragu dan sangsi tentang ini termasuk dalam hitungan kaum yang mendustakan. Allah ingin membedakan kalian dari orang lain (Malfuzhat al-Ghulam/pernyataan-pernyataan Ghulam yang diterbitkan di Majalah al-Hikam milik Ahmadiyah) tanggal 10 Desember 1904 M).<br /><br />Dalam kitab Arbain miliknya (hal 34-35), si Nabi palsu berkata: "Sesungguhnya Allah &. telah memberiku berita bahwa Dia secara qath'i mengharamkan untuk sholat di belakang orang yang mendustakanku atau ragu untuk taat kepadaku. Kewajiban kalian adalah mengerjakan sholat di belakang imam-imam kalian... kerjakan apa yang saya perintahkan. Apakah kalian ingin amalan kalian terhapus tanpa kalian sadari?".<br /><br />Si anak pun tak mau kalah. Dalam masalah yang sama, ia menetapkan: "Tidak boleh sholat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Orang-orang terus saja bertanya tentang ini, apakah boleh seorang penganut Ahmadiyah sholat di belakang orang yang bukan Ahmadiyah?. Saya katakan meski terus kalian bertanya tentang ini kepadaku, maka jawabnya Sesungguhnya tidak boleh penganut ajaran Ahmadiyah sholat di belangan orang yang bukan menganut (agama) Ahmadiyah, tidak boleh, tidak boleh".Fakta sejarah lain, dengan aktor Khalifah kedua Ahmadiyah, putra Nabi Palsu, Mahmud Ahmad. Dia sedang mengisahkan perjalanan hajinya ke Mekkah. 7 Katanya: "Saya pergi tahun 1912 M ke Mesir. Dari sana kemudian saya berangkat naik haji. Di Jedah, kakek dari ibu menemuiku. Lantas, kami bersama-sama pergi ke Mekkah. Di hari pertama, saat kami thowaf, waktu sholat datang. Saya berniat keluar (dari Masjidil Haram, red). Namun, jalan keluar sudah terhalangi karenanya kondisi sangat padat dengan jamaah sholat. Selanjutnya, saya akhirnya sholat. Kakekku menyuruh aku untuk sholat. Kami pun sholat. Ketika sampai di rumah, kami kemudian saling berkata: "Ayo, kita kerjakan sholat lagi karena Allah. Sholat tidak bisa dilaksanakan dan tidak diterima bila dikerjakan di belakang imam yang bukan penganut Ahmadiyah... "(?!)8<br /><br />Fakta sejarah lain, dengan aktor Khalifah kedua Ahmadiyah, putra Nabi Palsu, Mahmud Ahmad. Dia sedang mengisahkan perjalanan hajinya ke Mekkah. 7 Katanya: "Saya pergi tahun 1912 M ke Mesir. Dari sana kemudian saya berangkat naik haji. Di Jedah, kakek dari ibu menemuiku. Lantas, kami bersama-sama pergi ke Mekkah. Di hari pertama, saat kami thowaf, waktu sholat datang. Saya berniat keluar (dari Masjidil Haram, red). Namun, jalan keluar sudah terhalangi karenanya kondisi sangat padat dengan jamaah sholat. Selanjutnya, saya akhirnya sholat. Kakekku menyuruh aku untuk sholat. Kami pun sholat. Ketika sampai di rumah, kami kemudian saling berkata: "Ayo, kita kerjakan sholat lagi karena Allah. Sholat tidak bisa dilaksanakan dan tidak diterima bila dikerjakan di belakang imam yang bukan penganut Ahmadiyah... "(?!)8<br /><br />muslimin ataupun menyolati kaum muslimin (di luar jamaah Ahmadiyah). Karenanya, ketika pendiri Negara Pakistan meninggal, Muhammad AN Jinah $fe , sang menteri luar negeri pada zaman itu yang bernama Zhafrullah Khan tidak menyolati beliau. Sebabnya sangat jelas. Karena Muhammad Ali Jinah $K menurutpandangannya telah kafir lantaran memegangi petunjuk Muhammad dan membebaskan umat Islam dari cakar-cakar penjajah..."9<br /><br /> Penutup<br /><br /><br /><br />Perkembangan ajaran Ahmadiyah harus diwaspadai setiap muslim. Sebab, hakikatnya merupakan usaha permurtadan. Hingga tidak boleh dilihat dengan sebelah mata. Tatkala mereka mengalami kegagalan dalam mendakwahkan agama Ahmadiyah di daratan India, mereka membidik benua Eropa dan Afrika. Dan ternyata 'lebih berhasil' dalam memurtadkan kaum muslimin. Pasalnya, dalam kurun waktu 70 tahun sejak pertama kali dideklarasikan dan dengan dukungan penuh dari kaum kolonialis, jumlah penganut Ahmadiyah India hanya berkisar pada angka ribuan. Padahal, Jawaharlal Nehru, saat menjabat PM India juga mendukung gerakan permurtadan ini. Karena kaum muslimin di sana mengetahui hakikat busuk Ahmadiyah. Akan tetapi, di benua Afrika dan Eropa, dalam rentang waktu 15 tahun saja, penganut Ahmadiyah berjumlah jutaan. Kata Syaikh Ihsan, penyebabnya ialah, pada waktu itu jumlah dai Islam di sana tidak banyak10.<br /><br />Sebagai penutup, kami kutipkan pesan beliau kepada umat Islam: "Usaha untuk melawan Ahmadiyah guna menghentikan ancamannya sudah menjadi kewajiban dalam Islam, politik dan secara individual. Dari kaca mata agama, karena telah mengobrak-abrik ajaran Islam dan menghancurkan rukun-rukunnya. Adapun dari sudut politis, lantaran Ahmadiyah merupakan kepanjangan tangan kekuasaan kolonialis di setiap distrik yang ditempati. Dan, secara individu, telah dilakukan oleh DR. Muhammad Iqbal yang menyanggah pernyataan PM Jawaharlal Nehru yang mendukung ajaran agama Ahmadiyah".<br /><br />Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah, yang tampak maupun tersembunyi. Wallahul a'lam.<br /><br /><br />Catatan Kaki<br /><br /> Diangkat dari al-Qadiyaniyah, Dirasat Wa Tahiti karya Syaikh IhsSn llahi Zhahir (1941-1987), Idarah Turjumanis Sunnah Lahore<br /> Pakistan tanpa tahun, hal 37-42 al-Qadiyaniyah, Dirasat Wa Tahl/l hal. 37 Topik tentang Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad pernah diangkat dari sudut yang berbeda dari tulisan di atas pada Majalah<br /> as-Sunnah Edisi Khusus Tahun IX (1426H-2005M) Diterbitkan dalam Hazharatul Islam edisi V tahun 1386 H.<br /> Kami tidak sedang ikut serta dalam memprovokasi umat untuk menggayang Ahmadiyah yang eksis di tanah air. Karena, tindakan nahi mungkar mesti memenuhi kaidah-kaidah syariat yang sudah baku. Tidak ditempuh dengan cara-cara serampangan, destruktif dan kekerasan atas dasar emosi atau perasaan belaka<br /> Pada gilirannya, penganut Ahmadiyah dilarang memasuki kota suci Mekkah. Karena mereka telah kafir. Red).<br /> Nukilan dari al-Qadiyaniyah hal. 39-40<br /> al-Qadiyaniyah hal. 42<br /> al-Qadiyaniyah hal. 21-22<br /><br /><br /><br />Sumber : Majalah As-Sunnah Edisih Bulan November 2008<br />Categori Aliran Sesat, Bantahan<br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-13416958653299368132008-12-29T10:01:00.001+07:002008-12-29T10:05:43.928+07:00RINSIP-PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH KHILAFIYAHOleh<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin<br /><br /><br />Pertanyaan<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah khilafiyah ? Dan apakah batasan masalah-masalah tersebut ?<br /><br />Jawaban<br />Prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah (adalah) bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad dan (masalah itu) termasuk masalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya, maka (hendaknya) satu dengan yang lain saling memaafkan dengan perbedaan tersebut. Hendaknya mereka tidak menjadikan perbedaan perbedaan ini termasuk dalam perbedaan yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Dan siapa yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil maka pada hakikatnya dia tidaklah menyelisihi saya, karena manhaj tetap satu, baik saya yang menyelisihinya sesuai dengan konsekwensi dalil atau dia yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil. Kalau begitu, maka kita sama. Dan perbedaan pendapat tetap ada dalam umat (ini) sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini.<span class="fullpost"><br /><br /><br />Adapaun (masalah) yang tidak dibenarkan adanya khilaf adalah masalah yang menyelisihi perjalanan para sahabat dan tabi’in, seperti masalah-masalah aqidah orang-orang yang sesat. Dan waktu munculnya khilaf adalah setelah masa-masa yang mendapatkan keutamaan (Al-Quruun Al-Mufadhdhalah). Artinya khilaf belumlah tersebar dan meluas kecuali setelah Al-Quruun Al-Mufadhdhalah tersebut, walaupun sebagian khilaf dalam (masalah-masalah tersebut) terjadi di masa sahabat.<br /><br />Namun harus diketahui jika kita katakan : (Setelah) masa sahabat, tidaklah itu berarti semua sahabat harus telah meninggal dunia, akan tetapi (yang dimaksud) adalah masa di saat tidak ada lagi ditemukan mayoritas para sahabat. Karena anda sekalian mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan ajal manusia itu saling susul menyusul. Misalnya jika kita katakan : Bahwa masa sahabat tidak berakhir kecuali bila tidak lagi tersisa satupun dari mereka, maka tentulah kita akan melewati begitu banyak dari masa tabi’in. Akan tetapu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sesungguhnya suatu masa itu dihukumi selesai jika kebanyakan penghuninya telah tiada”. Maka apabila mayoritas sahabat –misalnya- telah tiada dan mereka tidak lagi tersisa mereka kecuali puluhan atau ratusan yang sedikit, maka ini berarti bahwa masa mereka telah berakhir, dan begitu pula dengan para tabi’in, serta demikian pula para pengikut mereka (atba’ At-Tabi’in) hingga masa kita ini.<br /><br />Maka Al-Quruun Al-Mufadhdhalah telah selesai, dan tidak ditemukan adanya khilaf yang belakangan tersebar dalam masalah-masalah aqidah. Dan mereka yang menyelisihi kita dalam masalah aqidah (sebenarnya) mereka menyelisihi apa yang dijalani oleh para sahabat dan tabi’in, maka mereka itu harus diingkari dan tidak boleh diterima khilaf mereka.<br /><br />Adapun masalah-masalah khilaf yang terdapat di masa sahabat, dan memungkinkan terjadi ijtihad di dalamnya maka tentulah khilaf ini akan tetap (ada). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“Artinya : Apabila seorang hakim menetapkan hukum, berijtihad, lalu benar (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad lalu salah (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan satu pahala” [1]<br /><br />Inilah batasannya. Jika ada yang mengatakan : Apakah khilaf tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dibenarkan ? Maka kita katakan : Tidak, karena khilaf ini telah keluar dari manhaj para sahabat, sebab tidak pernah ada dua orang sahabat berselisih dalam masalah sifat Allah. Mereka semua meyakini sifat-sifat Allah itu benar sesuai dengan hakikatnya, tanpa (melakukan) tamtsil (permisalan). Dalil bahwa mereka meyakini hal tersebut adalah belum pernah ada khilaf di antara mereka dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang terdapat dalam masalah sifat-sifat (Allah). Maka apabila tidak terdapat khilaf di kalangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia atau hadits-hadits nabawi, maka ini berarti mereka berpegang pada yang demikian, karena Al-Qur’an adalah ‘arabi (diturunkan dengan bahasa Arab,-pent) dan As-Sunnah juga disampaikan dengan bahasa Arab, sedang mereka mengetahui bahasa Arab.<br /><br />Bila tidak terdapat dari mereka sesuatu yang menyelisihi zhahir ayat atau hadits, maka kita mengetahui bahwa mereka berpegang pada zhahir ayat dan hadits itu. Oleh karenanya, kita ingkari setiap orang yang mengatakan (berpendapat) yang menyelisihi madzhab As-Salaf dalam masalah sifat-sifat Allah. Atau jika anda ingin mengatakan : Dalam masalah iman seluruhnya ; iman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir serta Qadar yang baik maupun yang buruk, maka setiap orang yang menyelisihi apa yang dahulu dijalani oleh para sahabat dalam keenam perkara ini, maka kita pun mengingkarinya dan tidak mengakuinya.<br /><br />[Disalin dari kitab Al-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Muhammad Ihsan Zainuddin, Penerbit Darul Haq]<br />__________<br />Foote Note<br />[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari No. 7353 dalam Kitab Al-I’thisham bab Ajrul Haakim Idza Ijthada Faashaba Auw Akhta'a, dan Muslim No. 1716 dalam Kitab Al-Uqdhiyah bab Bayaan Ajril Haakim Idza Ijtahada Faashaba Auw Akhta’a dari hadits ‘Amru Ibn Al-‘Ash Rasdhiyallahu ‘anhu.<br />Categori Aqidah, Fatwa, Manhaj Salaf<br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-7798037374526336872008-11-05T17:57:00.001+07:002008-11-05T18:00:49.541+07:00Asy-Syaikh Al Muhadistul Ashr Al Allamah Al Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani AbdullahNama beliau adalah Abu abdi rahman muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Al Bani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota albani yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu.<br />Ayah albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad zagho naik tahta di albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.<br /><span class="fullpost"><br />Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.<br />Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.<br />Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul "al-Mughni'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar". Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit(bangkrut)".<br />Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.<br />Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.<br />Pengalaman Penjara<br />Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid'ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.<br />Beberapa Tugas yang Pernah Diemban<br />Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jamiyah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.<br />Beberapa Karya Beliau<br />Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau adalah :<br />• Adabaz-Zifat fi As-Sunnah al-Muthahharah<br />• Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah<br />• Silisilah al-Ahadits ash Shahihah<br />• Silisilah al-Ahadits adh-Dhariyah wal mandhu'ah<br />• At-Tawasul wa anwa'uhu<br />• Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha<br />Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.<br />Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami'ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.<br />Wafatnya<br />Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi'ah wa jazahullahu'an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na'im al-Muqim.<br /><br /><br />Ketika Wafatnya Syaikh Muhammad Nashiruddin Bin Nuh Al Albani<br />Oleh Murid beli<br />Abu Abdurrahman Muhammad Al Khatib<br /><br />Pada hari ini sabtu 2 oktober 1999 ribuan bahkan jutaan orang menangis, mereka menangis karena mendengar sebuah berita duka, yang merupakan musibah besar dengan wafatnya seorang Imam besar.<br /><br />Berita duka ini sampai kepadaku seusai shalat ashar hari ini dari istri beliau rahimahullah. Dengan serta merta aku menuju rumah sakit tempat beliau dirawat. Disana aku jumpai istri dan putra beliau Abdul Lathif yang menemani beliau selama masa perawatan.<br /><br />Setelah masuk kamar tiba-tiba kusaksikan dihadapanku jasad Syaikh rahimahullah yang telah ditutup dengan selembar kain, dibaringkan diatas sebuah tempat tidur. Air mataku mengalir tidak mampu menahan tangisan atas kepergiannya.<br /><br />Kubuka wajahnya yang bercahaya lalu kucium keningnya. Kami mengangkat jasadnya untuk dimuat disebuah mobil milik salah seorang teman, lalu membawanya ke rumah duka.<br /><br />Ikut bersama kami di mobil jenazah, putra beliau Abdul Lathif. Ia sangat sedih dan banyak mengucurkan air mata. Kami menghibur dan menasihatinya untuk bersabar. Ia hanya memandang kami sedang kedua matanya meneteskan air mata yang banyak.<br /><br />Abdul Lathif menceritakan kondisi ayahnya sehari sebelum wafat, ia berkata : “Hingga kemarin dalam kondisi sakitnya yang semakin parah ayah masih sempat berkata :”Berikan kitab shahih sunan Abi Dawud!!”<br /><br />Aku katakan : “Subhanallah (Maha suci Allah), semoga Allah swt membalas kebaikanmu ya Syaikh. Sungguh engkau telah hidup sepanjang usiamu, siang dan malam, engkau membela Sunnah Rasul saw hingga akhir hidupmu.<br /><br />Dalam kondisi tidak mampu menegakkan punggungmu, aku melihatmu menyuruh putra atau cucu-cucumu menulis, tanpa mengenal sakit dan tidak pula mengeluhkan kesakitanmu. Semua itu tiada lain kecuali anugerah dan keutamaan dari Allah swt yang diberikan kepadamu, maka Dia-lah yang maha pemberi karunia dan keutamaan”.<br /><br />Sesampainya kami di rumah Syaikh, di sana kami jumpai beberapa teman yang telah mendahului kami dan mulailah para ikhwah berdatangan dari berbagai pelosok kota Amman , tempat Syaikh berdomisili selama lebih dari delapan belas tahun.<br /><br />Kami bergegas mempersiapkan jenazah Syaikh rahimahullah, memandikan dan mengafaninya. Begitu selesai menyiapkan, kami mengeluarkan dan meletakkannya di sebuah ruangan besar.<br /><br />Seketika rumah Syaikh rahimahullah telah penuh sesak oleh pelayat yang terdiri dari para pecinta dan murid-muridnya. Syaikh Abu Malik mengisyaratkan kepada kami agar wajah Syaikh tidak ditutup sehingga para pelayat melepaskan kepergiannya.<br /><br />Mereka pun segera mencium kening Syaikh sebagai tanda perpisahan dengannya . lalu jenazah Syaikh disiapkan untuk dishalatkan. Para ikhwan yang bermusyawarah tentang tempat pemakamannya, aku katakan kepada mereka bahwa Syaikh rahimahullah berulang-ulang menyebutkan kehendaknya di depanku, beliau ingin dikuburkan dipemakaman yang terletak pada sisi jalan yang menuju ke rumahnya agar tetap mendapat ucapan “salam” dari saudara-saudara dan pecintanya.<br /><br />Di antara wasiat beliau sebagaimana yang dikatakan oleh putranya Abdul Lathif, agar jenazahnya dibawa dari rumahnya ketempat pemakaman dengan cara dipikul, setelah para pelayat melepaskan kepergian beliau, kami segera keluar dari rumah untuk menshalatkannya.<br /><br />Demikian sang Imam dan tokoh ini kembali kepada Rabbnya Tabaraka wata`ala dengan meninggalkan warisan ilmu yang bermanfaat, tergores di sela-sela ratusan karya tulisnya yang kemudian Allah mentakdirkannya diterima di seantero dunia bahkan sebagiannya telah diterjemahkan ke beragam bahasa di dunia ini.<br /><br />Demikian pula beliau telah meninggalkan sejumlah muridnya yang berjalan diatas manhaj salaf yang dianutnya selama hidup beliau. Semoga dengan pertolongan Allah swt merekapun akan berjalan diatasnya hingga datangnya ajal.<br /><br />Aku mengenal beliau rahimahullah semenjak 23 tahun yang lalu. Usiaku pada saat itu menginjak empat belas tahun.<br /><br />Sungguh Allah swt telah menganugerahi aku nikmat dan karunia-Nya sejak aku mengenal manhaj salaf dan mencintainya. Tidak pernah kutinggalkan setiap jalan yang menunjukku kepadanya, kecuali kutempuhnya. Aku berkenalan dengan murid-murid syaikh, duduk dan berteman dengan mereka. Aku mulai membeli kitab-kitab syaikh dan kitab yang pertama kubeli adalah “shifat shalat Nabi saw“. Aku selalu menanti kedatangan Syaikh dari negeri Syam sebagaimana biasa untuk menyampaikan kajian-kajian.<br /><br />Pada tahun 1980, Syaikh berhijrah dari negeri Siria ke Amman (Yordania). Yang kemudian menjadi tempat domisilinya. Beliau memilih tinggal di perkampungan yang sederhana. Ia pernah ditawari sebidang tanah oleh seorang kaya yang terletak di sekitar kota Amman , namun tetap ditolaknya dan bersikeras untuk tetap tinggal di tengah–tengah kaum muslimin yang berekonomi lemah. Kota Amman pun gembira atas kedatangan Syaikh sebagaimana para pecintanya. Selama enam tahun telah kulalui bersama Syaikh di rumahnya, setiap hari selalu kudapati ilmu sebagaimana aku pun telah belajar darinya tentang akhlaq. Maka apakah yang hendak kuceritakan ?<br /><br />Syaikh rahimahullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan belas kasihan. Sekali waktu pernah beliau katakan padaku: “Hai Muhammad, engkau tidak memiliki kendaraan (mobil), sementara putra-putrimu perlu beristirahat (bertamasya), maka siapkan hari apa saja yang kamu inginkan, kita akan pergi bersama agar kamu bersenang-senang bersama mereka. Dua hari kemudian, kami siapkan apa yang diperlukan, lalu keluar bersama syaikh dan istrinya ke sebuah tempat tamasya di luar kota Amman . Dan beliau membawa makanan serta beraneka buah-buahan sehingga anak-anakku sangat gembira.<br /><br />Suatu ketika aku pernah bekerja dan memperbaki pada bagian atap rumah Syaikh. Aku mengangkat dan memindahkan sebuah kayu besar, hingga aku merasa keberatan dan hampir terjatuh dari atap rumah, kalau saja bukan karena karunia Allah swt padaku.<br /><br />Mendengar peristiwa itu, Syaikh segera memuji Allah swt atas keselamatanku dan langsung menyungkur bersujud kepada Allah swt mensyukuri-Nya, sedang kedua matanya mengucurkan air mata, menangisi kejadian ini. Lalu dikeluarkan dari sakunya sebanyak seratus dinar dan diberikannya kepadaku.<br /><br />Syaikh رحمه الله adalah seorang yang berperangai wara` yaitu selalu menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat dan syubhat. Pernah suatu ketika beliau menjadi penengah bagi seorang yang ingin bekerja di salah satu perusahaan persero. Selang beberapa hari, orang tersebut mengetuk pintu rumah beliau sambil membawa sejumlah buah zaitun dan menuturkan kepadaku : “Ini adalah hadiah untuk Syaikh“, pada waktu itu Syaikh sedang tidur.<br /><br />Setelah bangun dari tidurnya kusampaikan amanat orang itu. Dengan serta merta Syaikh bertutur: “Tidak halal bagi kita untuk memakannya, karena telah disabdakan oleh Rasulullah saw” (yang artinya)<br /><br />“Barang siapa yang menolong seseorang dengan suatu pertolongan, lalu diberikan kepadanya hadiah dan diterimanya, berarti dia telah mendatangi salah satu pintu riba”.<br /><br />Maka kami segera membagi-bagikannya kepada para fuqara`.<br /><br />Kedermawanan Syaikh Al-Albani rahimahullah<br /><br />Sering kali aku anjurkan Syaikh untuk membangun masjid, atau memberi kepada seorang fakir atau para janda atau seorang peminta-minta, dan tidak pernah beliau menolak. Banyak cerita dalam masalah ini di antaranya : “Pernah datang kepada beliau seorang penderita sakit yang pengobatannya dengan menggunakan suntikan. Ia harus disuntik sebanyak 15 kali dengan biaya setiap suntikan 20 dinar. Syaikh menyuruh aku untuk meneliti kebenaran dakwaannya. Setelah mengetahui kebenarannya, beliau memberi kepadaku biaya yang dibutuhkan lalu kubelikan suntikan tersebut”.<br /><br />Ketika hendak membangun rumahku aku memerlukan dana, maka kudatangi beberapa rumah dan mengetuk pintu-pintu mereka (untuk meminta pinjaman, pent) namun hasilnya nihil. Aku teringat seorang yang cukup mampu, dia dikenal oleh Syaikh. Maka kukatakan kepada istrinya: “ Tolong sampaikan kepada Syaikh jika beliau berkenan menjadi perantaraku agar orang itu memberiku pinjaman. Keesokan harinya ketika aku sedang duduk dikantorku. Syaikh berkata : “Ya Muhammad! engkau menghendaki agar aku menjadi penengahmu terhadap si fulan agar dia memberimu pinjaman?”. Aku bertukas : “benar”. Lalu kata Syaikh rahimahullah : “Aku lebih utama terhadapmu dari pada orang itu, aku berikan kepadamu seberapa yang kamu perlukan”. Aku pun menangis lalu kukatakan padanya: “Ya Syaikh kami, semoga Allah swt membalas kebaikanmu”. Demi Allah swt tidak pernah terdetik dalam hatiku bahwa apa yang kucari akan kudapati dari Syaikh karena aku tidak pernah melihat apa yang ada padanya. Ketika dana pinjaman itu diberikan padaku beliau berkata: “Yang seribu dinar ini sebagai hadiah untukmu, tidak terhitung sebagai pinjaman. Aku pun menangis untuk kedua kalinya, semoga Allah swt membalasnya rahimahullah.<br /><br />Kisah yang lain:<br /><br />Belum lama ini ketika beliau berada di rumah sakit, datang seorang wanita mengadu padanya tentang terjeratnya dalam cengkraman bunga bank. Karena ia mengambil pinjaman dari salah satu bank sebanyak 9000 dinar, dan bunganya telah melipatgandakan hutang tersebut. Ia datang kepada Syaikh, untuk meminta bantuan agar terlepas darinya. Sebagaimana kebiasaannya, Syaikh meminta kepadaku untuk meneliti kasus ini. Setelah diteliti dengan seksama kebenarannya, beliau menyetujui untuk meminjamkannya dana sebesar 7000 dinar. Wanita itu datang bersama putra-putranya. Lalu Syaikh berkata : “Yang seribu dinar sebagai hadiah dan yang selebihnya sebagai pinjaman yang dibutuhkan”. Alangkah girangnya wanita itu dan anak-anaknya. Mereka mendo`akan Syaikh rahimahullah, demikian pula aku ikut mendo`akannya “semoga Allah swt membalas kebaikanmu ya Syaikh”.<br /><br />Kemudian Syaikh memandang kami seraya berkata:<br /><br />“Yaa ikwan wallaahi inni atamanna an ashbaha milyuuniiran, hatta ukhrijaaluluufa min amstali hadzihi almar’a min kuyuudi arriba”<br /><br />“Demi Allah, wahai saudara-saudaraku, aku berangan-angan menjadi seorang “milyuner” hingga dapat melepaskan ribuan muslim yang senasib dengan wanita ini dari jeratan riba” .<br /><br />Kelembutan Dan Belas Kasihan Syaikh rahimahullah<br /><br />Pernah suatu ketika istriku hampir melahirkan. Sementara Syaikh selalu bertanya tentangnya. Sehari sebelum istriku melahirkan bayinya, tatkala aku akan meninggalkan perpustakaan, beliau berkata kepadaku: ”Silahkan ambil mobil ummul Fadhl [Ummul fadhl adalah istri Al-Albani yang keempat]. karena mungkin kamu memerlukannya di tengah malam. Mobil itu kubawa selama dua hari dan ternyata benar, saat melahirkan tiba ditengah malam. Aku keluar dari rumahku, aku tidak tahu hendak pergi kemana?? setelah berupaya mencari seorang bidan dan tidak kutemukan, terfikir olehku bahwa istri Syaikh rahimahullah memiliki pengalaman dalam hal kelahiran. Aku segera menuju ke rumah beliau, sedang aku dirundung keragu-raguan karena khawatir akan mengganggu dan mengejutkannya di saat-saat seperti ini. Aku mengetuk pintu rumahnya, beliaupun menjawabku, lalu kusampaikan kepadanya permohonan maafku yang sebesar-besarnya dan memberitahukan keperluanku. Beliau menjawabku sambil bercanda : “Mengapa kamu tidak lakukan seperti Syaikhmu? sungguh aku telah membantu sendiri istriku ketika melahirkan”. Lalu beliau melanjukkan dengan mengucapkan: “sebentar !!! aku akan membangunkan Ummu Fadhl, dia akan pergi bersamaku”. Lalu kami pun diberi oleh Allah swt seorang putra bernama Abdullah.<br /><br />Mobil Syaikh Al-Albani<br /><br />Adapun mobil beliau ibarat sekor unta yang selalu mengantar teman-teman kami. Beliau mengangkut mereka dan membawanya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Beliau katakan padaku : “Ya Muhammad, ayahku rahimahullah pernah berkata : likulli syaiin zakaatun, wazakaatus sayaarati : hamlunnaasi biha<br /><br />“setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat mobil adalah mengangkut orang”<br /><br />utiara Hikmah Syaikh Al Albani rahimahullah<br /><br />Itmaamul ma’ruf khairun minal bad i bihi<br /><br />“Menyempurnakan suatu yang ma`ruf lebih baik dari pada memulainya”.<br /><br />Ini adalah mutiara hikmah yang kami ambil dari beliau, dan alangkah indahnya hikmah ini.<br /><br />Syaikh Al-Albani seorang yang selalu memenuhi kebutuhan saudara-saudaranya, sehingga seorang merasa cukup dengan sesuatu dari bantuan beliau. Syaikh merasa senang dan selalu bertekad untuk menyempurnakan bantuannya. Namun orang yang dibantu segera berkata : “Menyempurnakan sesuatu yang ma’ruf lebih baik dari memulainya”.<br /><br />Banyak ilmu yang kami dapat dari mutiara hikmah ini dalam bermu`amalah dengan saudara-saudara kami.<br /><br />Inilah hal penting yang dapat kusajikan untuk para pembaca dari sela-sela kehidupanku bersama beliau selam 6 tahun. Bisa jadi musibah kematian Syaikh membuatku lupa akan banyak hal.<br /><br />Saya yakin bahwasanya banyak peristiwa dan sikap-sikap Syaikh yang wajib kucatat sebagai sebuah catatan bersejarah untuk memenuhi hak-hak Syaikh rahimahullah .<br /><br />Semoga Allah swt merahmatimu wahai Syaikh kami, dengan rahmat yang luas.<br /><br />Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun<br /><br />“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali”<br /><br />Maraji’:<br />Majalah al-Ashalah 23 hal: 55-58<br /><br />Sumber : http://akhmukhtar.blogspot.com/search?max-results=1000<br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-70478297902311552992008-11-05T17:55:00.000+07:002008-11-05T17:56:46.105+07:00Terima kasihBismillahirrahmanirohiim<br /><br />Terimah Kasih atas Saran, Kritik atau Nasehatnya atau mungkin pertanyaannya. kalau ada kesempatan insya Allah akan kami jawab sesuai dengan kemampuan kami.<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-47611195517396251812008-11-03T15:30:00.002+07:002008-11-05T17:53:29.301+07:00Daftar Link Alternative<span><strong><span><span style="font-size:180%;">My Brother</span></span></strong></span><br />Abi Hanin : <a href="http://www.ummuhanin.blogspot.com">www.ummuhanin.blogspot.com</a><br /><span>Abu Nashir :<a href="http://www.akhmukhtar.blogspot.com"> www.akhmukhtar.blogspot.com</a> / <a href="http://www.abunashir.blogspot.com">www.abunashir.blogspot.com</a><br /><br /><br /><span><strong><span><span style="font-size:180%;">1. Sahabat</span></span></strong></span></span><br /><br />Membersihkan tauhid dari Syirik dan Memberantas Bid'a dari Sunnah<br /><br /><a href="http://abusalma.wordpress.com/">Abu Salma</a><br /><a href="http://antosalafy.wordpress.com/">Abu Maulid<br /></a><a href="http://www.ibnusarijan.blogspot.com/">Ibnu Sarijan</a><br /><a href="http://desasalafy.co.cc/">Abu Fathan</a><br /><a href="http://an-nawawi.blogspot.com/">Brother Nawawi</a><br /><a href="http://maslilik.wordpress.com/">Ahmad Abu Yusuf<br /></a><a href="http://abufathurrahman.wordpress.com/">Abu Fathurrahman</a><br /><a href="http://alwajiz.wordpress.com/">Abu Ahmad<br />Abdul ‘Alim</a><br /><span class="fullpost"><a href="http://wahonot.wordpress.com/">Abu Abdirrahman al-Bayatati</a><br /><span class="fullpost"><a href="http://alatsar.wordpress.com/">Abu Aqil Rudi As-Salafy</a><br /><a href="http://abuzubair.wordpress.com/">Abuz Zubair</a><br /><a href="http://albamalanjy.wordpress.com/">Albamalanji </a><br /><a href="http://adiabdullah.wordpress.com/">Adi Abdullah</a><br /><a href="http://aboezahra.wordpress.com/">Abu Zahroh</a><br /><a href="http://abuamincepu.wordpress.com/">Abu Amin Cepu</a><br /><a href="http://minenda.wordpress.com/">Abu ‘Umair Pati</a><br /><a href="http://abasalma.wordpress.com/">Abu Salma M. Fakhrurrazi</a><br /><a href="http://salafiyunpad.wordpress.com/">Abu Zaid al-Posowy</a><br /><a href="http://aliph.wordpress.com/">Abu Aufa As-Salafy</a><br /><a href="http://almalanji.wordpress.com/">Abu Mu’adz</a><br /><a href="http://alkatuni.110mb.com/">Abu Muslim al-Katuni</a><br /><a href="http://tholib.wordpress.com/">Abu Shillah Aryo</a><br /><a href="http://abuthalib.blogspot.com/">Andy Abu Thalib</a><br /><a href="http://adniku.wordpress.com/">Abu Faris Adni Kurniawan, Lc.</a><br /><a href="http://ichsanmufti.wordpress.com/">Ichsan Mufti</a><br /><a href="http://maramissetiawan.wordpress.com/">Maramis Setiawan</a><br /><a href="http://sabiilunnajaah.wordpress.com/">Sabilun Najah</a><br /><a href="http://sahidian.web.id/">Sahidian</a><br /><a href="http://salafyitb.wordpress.com/">Salafy ITB</a><br /><a href="http://www.portalherbal.co.cc/">Abu Yazid Portal Herbal Sunnah</a><br /><br /><strong><span><span><span style="font-size:180%;">2. Ulama dan Thulabul Ilmu</span></span></span></strong><br /><br /><a href="http://www.ibnbadawy.com/">Abdul Azhim Badawi</a><br /><a href="http://www.sahab.ws/5600/news/3399.html">Abdul Aziz Alu Syaikh</a><br /><a href="http://www.sh-rajhi.com/rajhi/">Abdul Aziz ar-Rajihi</a><br /><a href="http://islamancient.com/">Abdul Aziz ar-Rayyis</a><br /><a href="http://www.ibnbaz.org.sa/">Abdul Aziz bin Bazz</a><br /><a href="http://www.alburaie.com/new/index.php">Abdul Aziz Bura’i</a><br /><a href="http://www.alabad.jeeran.com/">Abdul Muhsin Abbad</a><br /><a href="http://www.obaykan.com/">Abdul Muhsin Ubaikan</a><br /><a href="http://www.alarnaut.com/">Abdul Qadir al-Arnauth</a><br /><a href="http://www.alfuzan.islamlight.net/">Abdullah al-Fauzan</a><br /><a href="http://www.sahab.ws/6111">Abdullah azh-Zhafiri</a><br /><a href="http://www.ibn-jebreen.com/">Abdullah Jibrin</a><br /><a href="http://www.afifyy.com/">Abdur Razaq Afifi</a><br /><a href="http://saaid.net/Doat/sudies/index.htm">Abdurrahman as-Sudais</a><br /><a href="http://saaid.net/Doat/dimashqiah/index.htm">Abdurrahman Dimasyqiyah</a><br /><a href="http://www.burjes.com/">Abdus Salam Barjas</a><br /><a href="http://www.ferkous.com/rep/index.php">Abu Abdil Muiz Firkuz</a><br /><a href="http://saaid.net/Doat/Althahabi/index.htm">Abu Abdillah adz-Dzahabi</a><br /><a href="http://www.abouassim.net/">Abu Ashim al-Ghomidi</a><br /><a href="http://www.abu-bkr.com/">Abu Bakr al-Mishri</a><br /><a href="http://www.al-heweny.com/html/">Abu Ishaq al-Huwaini</a><br /><a href="http://www.abuislam.net/">Abu Islam Shalih Thaha</a><br /><a href="http://abumalik.net/">Abu Malik al-Juhanni</a><br /><a href="http://www.otiby.net/">Abu Umar al-Utaibi</a><br /><a href="http://njza.net/web/">Ahmad Yahya Najmi</a><br /><a href="http://www.alkinani.net/">Ahmad Shalih Zahrani</a><br /><a href="http://www.alhalaby.com/">Ali Hasan al-Halabi</a><br /><a href="http://www.albaidha.net/vb/">Ali Ridha</a><br /><a href="http://www.haddady.com/">Ali Yahya al-Haddadi</a><br /><a href="http://www.dorar.net/">Alwi as-Saqqof</a><br /><a href="http://mandakar.com/">Falah Ismail</a><br /><a href="http://www.aqsasalafi.com/">Hisyam al-Arifi</a><br /><a href="http://www.ajurry.com/">Imam al-Ajurri</a><br /><a href="http://www.almosleh.com/index.shtml">Kholid al-Mushlih</a><br /><a href="http://www.alifta.com/default.aspx">Lajnah Daimah</a><br /><a href="http://www.m-ismail.com/">M. Ismail Muqoddam</a><br /><a href="http://www.sh-emam.com/">M. Abdillah al-Imam</a><br /><a href="http://saaid.net/Doat/khamis/index.htm">M. Abdurrahman al-Khumayis</a><br /><a href="http://www.al-athary.net/">M. al-Hamud an-Najdi</a><br /><a href="http://www.aljami.net/">M. Aman al-Jami</a><br /><a href="http://toislam.net/">M. Ibrahim al-Hamd</a><br /><a href="http://www.mediu.org/">M. Khalifah Tamimi</a><br /><a href="http://www.magdiarafat.com/">Majdi Arafat</a><br /><a href="http://www.marsed.org/">Masyaikh Sudan</a><br /><a href="http://www.mashhoor.net/">Masyhur Hasan Salman</a><br /><a href="http://maghrawi.net/">Muhammad Al-Maghrawi</a><br /><a href="http://www.ibnothaimeen.com/">Muhammad al-Utsaimin</a><br /><a href="http://www.yaqob.com/site/docs/index.php">Muhammad Husain Ya’qub</a><br /><a href="http://www.m-alnaser.com/">Muhammad Musa Nashr</a><br /><a href="http://www.rslan.com/">Muhammad Said Ruslan</a><br /><a href="http://www.muqbel.net/">Muqbil bin Hadi</a><br /><a href="http://aladawy.info/">Musthofa al-Adawi</a><br /><a href="http://albarrak.islamlight.net/">Nashir al-Barrak</a><br /><a href="http://www.alalbany.net/">Nashirudin al-Albani</a><br /><a href="http://www.rabee.net/">Robi’ al-Madkholi</a><br /><a href="http://www.saad-alhusayen.com/">Sa’ad al-Hushayin</a><br /><a href="http://www.al-fath.net/">Said Abdul Azhim</a><br /><a href="http://sahab.ws/3250">Salim al-Ajmi</a><br /><a href="http://islamfuture.net/">Salim Ied al-Hilali</a><br /><a href="http://saaid.net/Doat/samer/index.htm">Samir al-Maliki</a><br /><a href="http://www.alfawzan.ws/alfawzan/default.aspx">Shalih al-Fauzan</a><br /><a href="http://www.assuhaimi.com/">Shalih as-Suhaimi</a><br /><a href="http://sahab.ws/4435">Shalih Sa’ad as-Suhaimi</a><br /><a href="http://saaid.net/Warathah/Alkharashy/index.htm">Sulaiman al-Khuraisyi</a><br /><a href="http://www.sahab.ws/3147">Sulthan al-Ied</a><br /><a href="http://www.alhilali.net/">Taqiyudin al-Hilali</a><br /><a href="http://www.olamayemen.com/html/">Ulama Yaman</a><br /><a href="http://www.anasalafy.com/">Ulama Iskandariyah</a><br /><a href="http://almanhaj.com/">Utsman al-Khamis</a><br /><a href="http://www.waheedbaly.com/">Wahid Abd Salam Bali</a><br /><a href="http://www.sh-yahia.net/">Yahya al-Hajuri</a></span><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-37681814488265095552008-11-03T14:25:00.002+07:002008-12-13T09:55:09.647+07:00Buku TamuKepada pengunjung yang ingin bersilahturahim atau hendak mengkritik, saran, atau nasehatnya, kami harap kalian semuahnya selalu menjaga adab-adab dalam berdiskusi.<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br /> </span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-88729315303594191892008-11-03T14:18:00.000+07:002008-11-03T14:24:32.346+07:00Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hasan<span class="fullpost"><br />Halaman ini masih dalam perbaikan<br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-84575941163393104852008-10-19T09:00:00.005+07:002008-11-03T14:02:48.260+07:00Bagaimana Aku Menggapai Jalan Tauhid<div align="justify"><span style="font-size:180%;"><strong>BAGAIMANA AKU MENCAPAI JALAN TAUHID</strong></span><br /><br /><br /><strong>Oleh:<br /><br />Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizahullah<br /><br />(Bagian Kedua)</strong><br /><br /><br /><br /><strong>Mengikuti Tarekat Naksabandiyyah</strong><br /><br />Sejak kecil saya selalu mengikuti pelajaran dan halaqoh dzikir di masjid. Suatu ketika, pemimpin tarekat Naksabandiyyah melihatku, lalu ia mengajakku ke pojok masjid dan memberiku wirid-wirid tarekat Naksabandiyyah. Namun, karena usiaku yang masih belia, saya belum mampu membaca wirid-wirid itu sesuai dengan petunjuknya, tetapi saya tetap mengikuti pelejaran mereka bersama teman-teman saya dari pojokan masjid.<span class="fullpost"><br /><br />Mendengar lantunan qasidah dan nyanyian mereka, dan ketika sampai pada penyebutan nama syaikh mereka, dengan serta merta mereka meninggikan dan mengeraskan suara. Teriakan keras di tengah malam ini sangat menggangguku dan membuatku takut dan merinding.<br /><br />Dan ketika usiaku semakin menajak dewasa, salah seorang kerabat mengajakku ke masjid di daerah kami untuk mengikuti acara yang mereka namakan al-khatam. Kami duduk melingkar, kemudian salah seorang syaikh membagikan kepada kami batu-batu kecil dan berkata:”Al-Fatihah Asy-Syarif dan Al-Ikhlash Asy-Syarif”.<br /><br />Lalu dengan jumlah batu-batu kecil itu kami membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlash, istighfar dan sholawat dengan bentuk bacaan sholawat yang telah mereka hafal.<br /><br />Diantara bentuk sholawat yang saya ingat adalah<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>اللّهُمَ صَلِّ عَلىَ محَُمَّدٍ عَدَدَ الدَّوَابِّ</strong></span><br /></div><br />“Ya Allah, berilah sholawat untuk Muhammad sebanyak binatang melata”<br /><br />Mereka membaca sholwat ini dengan suara keras di akhir dzikir. Dan selanjutnya, syaikh yang ditugaskan itu menutupnya dengan ucapan rabitha syarifah (=ikatan mulia). Mereka mengucapkannya dengan tujuan membayangkan wujud syaikhnya saat menyebut namanya, karena syaikh itulah –menurut mereka- yang mengikat mereka dengan Allah Azza wa Jalla.<br /><br />Mereka merendahkan suara kemudian berteriak dan terbuai dalam kekhusyu’an, saat itu saya melihat salah seorang diantara mereka melompat ke atas kepala orang-orang yang hadir dari tempat yang tinggi karena kesedihan yang mendalam bagaikan permainan sulap. Saya heran dengan tingkah dan suara yang keras ini ketika menyebut nama syaikh tarekat mereka.<br /><br />Suatu ketika saya berkunjung ke rumah salah seorang kerabatku dan mendengarkan lantunan nyanyian dari kelompok tarekat Naksabandiyyah, yang berbunyi:<br /><br /><div align="center"><br /></div></span><div align="center"><strong>دَلُوْنِيْ بِاللهِ دَلُوْنِيْ # # # # # عَلَى شَيْخِ النَّصْرِ دَلُوْنِي<br /><br />Tunjuki aku, demi Allah, tunjuki aku<br /><br />Kepada syaikh penolong, tunjuki aku<br /><br /><br />اللَّي يُبْرِي العَلِيْلَ ##### وَيَشْفِي المَجْنُوْنَا<br /><br />Syaikh yang menyembuhkan orang yang sakit<br /><br />Dan menyembuhkan orang yang gila</strong><span class="fullpost"><br /><div align="justify"><br />Saya berdiri di depan pintu rumah, dan belum sempat masuk ke dalam, lalu berkata kepada tuan rumah:”Apakah syaikh itu yang menyebabkan orang yang sakit dan orang gila?”. Ia menjawab:”Ya, yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla mukjizat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak, tetapi ia tetap mengatakan “dengan izin Allah”.<br /><br />Kemudian ia berkata kepadaku:”Dan syaikh kami juga melakukannya dengan izin Allah”. Lalu saya menyanggahnya:”Tetapi mengapa Anda tadi tidak mengatakannya ‘dengan izin Allah’?”.<br /><br />Karena penyembuh yang sebenarnya adalah Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana perkataan Ibrohim ‘alaihi salam dalam Al-Qur’an:<br /><br /><div align="right"><strong><span style="font-size:180%;">{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء</span></strong><br /></div><br />“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).<br /><br /><strong>Beberapa Catatan Tentang Tarekat Naksabandiyyah</strong><br /><br />1. Ciri khusus tarekat ini adalah wirid-wirid mereka yang tidak dikeraskan. Jadi tarekat ini tidak mengandung tari-tarian dan tepuk tangan sebagaimana pada tarekat-tarekat lainnya.<br /><br />2. Dzikir-dzikir yang dilakukan secara berkelompok dan pembagian batu-batu kecil untuk setiap orang, lalu mereka diperintahkan membaca sesuatu dan meletakkan batu-batu kecil di dalam gelas berisi air untuk diminum dengan niat kesembuhan, semuanya itu adalah termasuk perbuatan bid’ah yang pernah diingkari oleh salah seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika masuk ke dalam masjid dan melihat sekelompok orang yang duduk melingkar dan ditangan mereka terdapat batu-batu kecil. Salah seorang diantara mereka berkata:”Bertasbihlah kalian sebanyak batu-batu kecil yang ada di tangan kalian!”.<br /><br />Beliau mencela perbuatan mereka sambil berkata:”Perbuatan apa yang kalian lakukan ini?”.Mereka menjawab:’Wahai Abu Abdurrahman, kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan batu-batu ini”. Lalu beliau berkata:”Hitunglah dosa-dosa kalian, dan saya menjamin bahwa segala kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, mengapa begitu cepat kalian binasa? Sahabat-sahabat Rasul kalian masih banyak yang masih hidup, baju mereka belum hancur, perabot mereka belum pecah, dan demi jiwaku ada di tangan-Nya. Apakah petunjuk kalian lebih baik dari petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan?!”1)<br /><br />Jika kita menggunakan logika yang murni, apakah mungkin petunjuk mereka yang lebih baik dari pada petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka telah mendapatkan taufik (petunjuk) untuk melaksanakan suatu amalan yang tidak diketahui oleh beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam?, atau mungkin mereka yang sesat?. Kemungkinan pertama jelas salah, karena tidak ada seorangpun yang lebih baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, berarti tersisa kemungkinan yang terakhir.<br /><br />3. Rabithah Syarifah (ikatan mulia). Istilah ini menurut mereka adalah gambaran wujud syaikh, seolah-olah ia datang mengawasi mereka ketika namanya disebut dalam dzikir. Sehingga kita dapat melihat bagaimana mereka melakukannya dengan penuh kekhusyu’an dan berteriak-teriak dengan suara yang tidak jelas. Dan inilah derajat ihsan yang sebenarnya, yang menurut mereka dijelaskan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه, فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم</strong></span>).<br /></div><br />“Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Muslim).<br /><br />Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk agar kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak meliaht-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Inilah derajat ihsan yang ditujukan hanya kepada Allah Azza wa jalla semata. Tetapi mereka justru mempersembahkan ihsan itu untuk syaikh mereka. Dan ini termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>{وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا …} (36) سورة النساء</strong></span><br /></div><br />“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun…”(QS. An-Nisa: 36).<br /><br />Jadi, dzikir itu adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla semata dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Walaupun ia malaikat, seorang Rasul maupun seorang syaikh yang justru kedudukannya di bawah para Rasul. Sehingga larangan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan mereka menjadi lebih jelas. Sebenarnya penggambaran syaikh mereka ketika menyebutkan namanya juga terdapat dalam tarekat Syadzaliyyah.<br /><br />4. Teriakan keras yang mereka lakukan ketika menyebut nama syaikh mereka atau ketika memohon pertolongan kepada selain Allah, seperti kepada ahlul bait dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza wa Jalla adalah termasuk perbuatan mungkar bahkan termasuk perbuatan syirik yang sangat dilarang.<br /><br />Berteriak dengan suara keras ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla adalah suatu kemungkaran, karena bertentangan dengan firman Allah:<br /><br /><div align="right"><strong><span style="font-size:180%;">{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ …} (2) سورة الأنفال</span></strong><br /></div><br />“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”(QS. Al-Anfal: 2).<br /><br />Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>أيها الناس اربعوا على أنفسكم, فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا, إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم (رواه البخاري و مسلم</strong></span><br /></div><br /> <br />“Wahai manusia sekalian, kasihanilah diri kalian (pelan-pelan dalam berdo’a) karena kalian tidak memanjatkan do’a kepada Dzat yang tuli dan Dzat yang tiada, tetapi kalian memanjatkan do’a kpada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia selalu bersamamu” (HR. Bukhori; Muslim).<br /><br />Bila menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan suara yang keras itu dilarang, maka berteriak, khusyu’ dan menangis ketika menyebut nama syaikh mereka termasuk kemungkaran yang lebih besar. Karena perbuatan ini termasuk bentuk “kegembiraan” yang digambarkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang keadaan orang-orang musyrik dalam firman-Nya:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>{وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ} (45) سورة الزمر</strong></span><br /></div><br />“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”(QS. Az-Zumar: 45).<br /><br />5. Sikap ghuluw terhadap tarekat serta keyakinan bahwa syaikh mereka itulah yang dapat menyembuhkan orang yang sakit. Padahal Allah Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Ibrohim dalam Al-Qur’an:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء</strong></span><br /></div><br />“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).<br /><br />Demikian juga dengan kisah seorang pemuda mukmin yang berdo’a kepada Allah untuk orang-orang yang sakit, lalu Allah Azza wa Jalla menyembuhkan mereka, ketika seorang kerabat raja berkata kepadanya:”Kamu akan mendapatkan harta yang banyak ini, jika engkau dapat menyembuhkannku”. Kemudian pemuda itu berkata:”Saya tidak dapat menyembuhkan seseoang, karena yang dapat menyembuhkan itu adalah Allah Azza wa Jalla, jika engkau beriman kepada Allah Azza wa Jalla maka saya akan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dan menyembuhkanmu” (HR. Muslim).<br /><br />6. Penyebutan lafadz tunggal الله ribuan kali adalah wirid mereka. Padahal dzikir dengan menggunakan lafadz الله tidak memiliki landasan syar’I, baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in, maupun dari para imam-imam mujtahidin. Perbuatan ini diadopsi dari perbuatan bid’ah orang-orang shufi. Karena lafadz الله dalam bahasa arab adalah mubtada’ yang tidak mengandung khobar, sehingga kalimat itu menjadi tidak lengkap.<br /><br />Seandainya seseorang menyebut nama “Umar” berkali-kali dan kita bertanya kepadanya:”Apa yang Anda inginkan dari Umar?”. Kemudian orang tersebut tidak menjawab apa-apa kecuali dengan menyebutkan nama “Umar, Umar…” berkali-kali, maka kita tidak akan mengatakan bahwa ia adalah orang gila, tidak memahami apa yang ia ucapkan.<br /><br />Orang-orang shufi ketika berdzikir dengan menggunakan lafadz tunggak tersebut, berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>{… قُلِ اللّهُ …} (91) سورة الأنعام</strong></span><br /></div><br />“Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91).<br /><br />Seandainya mereka membaca penggalan ayat sebelumnya, tentu mereka akan paham, bahwa maksud ayat itu adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab itu”.<br /><br />Adapun nash ayat yang dimaksud adalah firman-Nya:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>{وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ} (91) سورة الأنعام</strong></span><br /></div><br />Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91).<br /><br />Maksudnya adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab Taurat itu”.<br /><br /><br />Catatan Kaki:<br /><br />1) HR. Ad-Darimi dan Ath-Thabariy. Hadits Hasan.<br /><br />Sumber :<br />http://abdurrahman.wordpress.com/2007/11/25/bagaimana-aku-mencapai-jalan-tauhid-2<br /></div></span></div></div><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-83122820039381793392008-10-15T07:50:00.004+07:002008-11-05T18:02:00.505+07:00Hukum Jabat Tangan Dengan Lawan Jenis<div align="justify">Hari raya merupakan bagian syi'ar Islam yang mulia, memiliki nilai ibadah dan keutamaan yang agung. Namun keagungan dan kemuliaan tersebut terkikis oleh budaya dan tradisi yang menyimpang dan melang-gar larangan Alloh M dan Rosul-Nya. Di antara perbuatan haram yang se-ring dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin pada hari mulia itu ada¬lah saling berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mah-romnya bahkan ada yang sampai berciuman dan berpelukan; Na'udzubil-lah. Ada lagi suara-suara nyeleneh (ganjil) yang dilontarkan oleh orang-orang yang senantiasa melakukan tipu daya terhadap Islam dengan me¬ngatakan bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan wanita merupakan simbol persahabatan yang tulus di antara keduanya, menghapus dosa dan berbagai alasan lainnya. Ucapan itu hanyalah omong kosong yang tidak berdasarkan al-Qur'an maupun al-Hadits. Sebaliknya, dalil-dalil yang ada justru bertentangan dengan apa yang mereka lontarkan bahkan memper-jelas kedustaan ucapan mereka.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><strong>Kapan dianjurkan berjabat tangan?<br /></strong><br />Mushofahah (berjabat tangan) dianjurkan tatkala bertemu, sebagai penguat ucapan salam, tentunya bukan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahromnya. Dan orang yang berjabat tangan ketika bertemu de¬ngan saudaranya memiliki keutamaan di sisi Alloh is yaitu akan diam-puni dosa keduanya, sebagaimana terpatri dalam salah satu sabda Rosu-lulloh: "Tidak ada dari kedua orang muslim bertemu kemudian berja¬bat tangan (bersalaman) melainkan akan diampuni dosa kedua orang ter¬sebut sampai keduanya berpisah." (HR. Abu Dawud: 5212, at-Tirmidzi: 2727, Ibnu Majah: 3703, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah: 525)<br /><br />Imam an-Nawawi mengatakan: "Berjabat tangan adalah sunnah yang telah disepakati atasnya tatkala saling bertemu." Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar &fe menandaskan: "Dan dikecualikan perintah berjabat ta¬ngan kepada wanita yang bukan mahrom." (Aunul-Ma'bud: 7/81)<br /><br />Kemudian, berjabat tangan juga pernah dilakukan oleh para sahabat Anshor dan Muhajirin tatkala mereka membaiat Rosululloh ?g sebagai bentuk penerimaan mereka kepada beliau untuk tidak menentang sedikit pun dan selalu menaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibeban-kan atasnya baik dalam keadaan suka maupun terpaksa.<br /><br /><strong>Larangan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom</strong><br />Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jabat tangan kepada wanita 07-nabiyyah (yang bukan mahrom) adalah perbuatan dosa besar berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu. Oleh karena itu, sangat disayangkan kalau hal ini sudah menjadi fenomena umum dan menjadi suatu yang lumrah. Padahal jelas-jelas hal ini telah diharamkan oleh Alloh i? dan Rosul-Nya .<br /><br />Perhatikanlah sabda Rosululloh ^ berikut ini: "Sungguh ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum dari best lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Diriwayatkan oleh Imam ath-Thobroni dalam al-Kabir: 20/211 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah: 226)<br /><br />Syaikh al-Albani afe mengatakan: "Hadits ini menunjukkan larangan me¬nyentuh wanita ajnabiyyah dan mencakup juga berjabat tangan, karena hal itu masuk ke dalam larangan menyentuh." (Masa'il Nisa'iyyah Mukh-taroh: 174)<br /><br />Ummul-Mukminin Aisyah ^ pernah mengatakan: "Demi Alloh, ta¬ngan Rosululloh jgg belum pernah menyentuh tangan wanita (ajnabiyyah) satupun." (HR. al-Bukhori: 5288)<br />Hadits ini dikatakan tatkala membaiat kaum wanita yang seharusnya di-lakukan dengan jabat tangan tetapi ternyata Rosululloh $g tidak melaku-kannya (jabat tangan, Red), maka hal ini menunjukkan bahwa untuk per-kara yang sangat penting pun tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom apalagi urusan-urusan lainnya.<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar &&S mengatakan: "Rosululloh ^ dibaiat oleh para wanita dengan perkataan saja, tidak dengan berjabat tangan sebagaima-na yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki tatkala mereka berbaiat." (Fathul-Bari: 8/505) Syubhat dan bantahan terhadap orang yang membolehkan jabat tangan dengan wanita bukan mahrom<br /><br />Wahai saudaraku, apabila yang melakukan jabat tangan tersebut adalah orang awam atau orang fasik itu masih wajar lantaran mereka mungkin masih belum tahu hukumnya. Namun ironisnya, terkadang ada sebagian orang yang mengaku ustadz atau kiai berusaha untuk melegal-kan hal ini dengan berbagai macam dalih (alasan) yang seakan-akan ilmi-ah tetapi pada hakikatnya hanyalah mengikuti hawa nafsu semata. Di antara mereka ada yang mengatakan: "Bukankah kalau tidak muncul syahwat tidak mengapa? Kalau sentuhan kulit tidak sampai menimbulkan syahwat tidak apa-apa." Itulah sebagian syubhat yang mereka lontarkan. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hujjah mereka ini adalah hujjah yang dibangun di atas kehancuran.<br /><br />Pertama: Apakah mungkin akan kita bayangkan tatkala Rosululloh •&$ membaiat kaum wanita — seandainya beliau jabat tangan dengan me-reka — kemudian muncul syahwat, padahal saat itu adalah saat-saat gen-ting yaitu membaiat kaum wanita?! Dan Rosululloh ^ sebagaimana dika-takan oleh Aisyah ±&: "Rosululloh ^ adalah orang yang paling bisa mena-han syahwatnya." (HR. al-Bukhori: 1927, Muslim: 2576) Kalau memang Rosululloh ^ adalah orang yang paling mampu menge-kang syahwatnya dan tidak mungkin muncul syahwatnya pada kondisi-kondisi semacam itu namun ternyata Rosululloh ^ tidak melakukan ja¬bat tangan, maka berarti illah (sebab) itu adalah illah yang tidak diambil dari tempatnya.<br /><br />Kedua: Rosululloh ^ bersabda: "Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum dari besi itu lebih baik dari-pada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. ath-Thobroni dalam al-Kabir: 20/211 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah: 226)<br /><br />Ini adalah hadits umum. Dan sebagaimana yang telah mapan dalam kai-dah ushul-fiqih bahwa apabila ada dalil umum maka harus dibawa kepa-da keumumannya sampai datang hadits yang mengkhususkannya. Dan ti¬dak dijumpai bahwa Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallamitu pernah bersentuhan dengan seo¬rang wanita yang bukan mahromnya.<br /><br />Dampak negatif jabat tangan dengan wanita bukan mahrom Setiap keharaman pasti terdapat dampak negatif dan setiap apa yang dilarang oleh Alloh ys, maka di situlah pasti ada mafsadat (kerusakan) dan madhorot (bahaya)nya. Begitu pula berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom yang jelas-jelas telah diharamkan oleh Alloh Sf , dampak buruknya adalah bisa menjurus kepada fitnah yang lebih besar lagi, di an-taranya adalah:<br /><br /><strong>1. Memandang wanita tersebut</strong><br /><br />Memandang wanita yang bukan mahrom adalah terlarang. Biasanya seseorang berjabat tangan pasti memandang wajahnya, padahal Alloh ig telah memerintahkan kaum laki-laki dan kaum wanita agar menahan pandangan mereka untuk menutup segala pintu fitnah syahwat. Hal ini disebutkan dalam firman Alloh -<br /><br />Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka me¬nahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka." (QS. an-Nur [24]: 30)<br /><br />Melihat wanita yang bukan mahromnya termasuk zina karena de¬ngan penglihatan itu seseorang dapat menikmati kecantikan wanita dan<br />meninggalkan bekas di hati. Oleh karena itu, Alloh melarang melihat-<br />nya karena dapat menyeret kepada kerusakan.<br /><br /><strong>2. Ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita)</strong><br />Berjabat tangan pasti terjadi pada saat bercampur (ikhtilath), pada-hal hal itu dilarang karena ia merupakan sarana yang menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak terpuji, yaitu menikmati wanita dengan pengli-hatan dan berusaha untuk berbuat yang lebih jelek dari penglihatan itu sendiri.<br /><br /><strong>Hukum berjabat tangan dengan wanita tua</strong><br />Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz pernah ditanya dengan pertanyaan berikut ini: "Bagaimana hukum berjabat tangan dengan wani¬ta ajnabiyyah jika sudah lanjut usia?"<br /><br />Beliau menjawab: "Seorang pria dilarang secara mutlak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, baik yang menjabat tangannya itu adalah seorang pemuda ma¬upun kakek tua, karena tindakan tersebut bisa menimbulkan fitnah bagi keduanya. Selain itu, ada sebuah hadits shohih yang menyatakan bahwa Rosululloh si; bersabda:<br /><br />'Sesungguhnya, aku tidak (pernah) berjabat tangan dengan wanita (ajna¬biyyah).' (HR. Ibnu Majah: 2874, an-Nasa'i: 4181. Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Ibnu Majah: 2/415)<br /><br />Tidak ada perbedaan apakah wanita itu berjabat tangan dengan memakai penutup ataukah tanpa penutup dikarenakan keumuman dalil-dalil terse¬but dan untuk menutup pintu-pintu yang menjerumuskan kepada fitnah." (Fatawa an-Nazhor wal-Kholwat wal-Ikhtilath: 79)<br /><br />Maka jelaslah bagi kita bahwa berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom adalah perbuatan dosa, karena perbuatan ini bisa menje¬rumuskan pelakunya kepada fitnah yang lebih besar lagi. Kita memohon kepada Alloh 4g agar kita semua dihindarkan dari godaan setan yang ter-kutuk.<br />Ust Mukhlis Abu Dzar<br /><br /><br />Sumber : Buletin Al-Furqon Terbit Syawal 1429 H<br /></span></div><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-62721608838890944982008-09-21T00:20:00.003+07:002008-11-03T13:31:52.340+07:00Keutamaan Bulan Sya'baan<div align="justify"><div align="center"><strong><i><br /><br />Oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed</i></strong><br /></div><br /><strong>Disunnahkan Memperbanyak Puasa</strong><br /><br />Masalah keutamaan bulan Sya’ban telah diriwayatkan dalam beberapa hadits, di antaranya dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah رضي الله عنها. Beliau berkata:<br /><br /><div align="right"><strong><span style="font-size:180%;">كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْمُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطْ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامً فِي شَعْبَانَ. (رواه مسلم</span></strong>)<br /></div><br />“Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah puasa. Namun Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim)<br /><span class="fullpost"><br />Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها ditanya tentang puasa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau رضي الله عنها menjawab:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>كَانَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ أَفْطَرَ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطْ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً. (رواه مسلم</strong></span></div><br />“Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau selalu berpuasa. Dan beliau tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang paling banyak seperti di bulan Sya’ban. Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hampir seluruhnya. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)<br /><br /><strong>Bid’ah-bid’ah pada Bulan Sya’ban</strong><br /><br /><strong>1. Bid’ah Shalat Bara’ah/Alfiyyah</strong><br /><br />Imam Al-Fatani رحمه الله berkata dalam kitabnya Tadzkiratul Maudhu’at: “Di antara hal-hal yang diadakan manusia pada malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) adalah shalat alfiyah (shalat seribu raka’at). Seratus raka’at dikerjakan sendiri dan sepuluh raka’at-sepuluh raka’at berikutnya dilakukan secara berjama’ah. Mereka membesar-besarkan malam nishfu Sya’ban melebihi hari Jum’at dan hari raya. Padahal tidak diriwayatkan satu dalil pun dari hadits atau ucapan para shahabat, kecuali dha’if atau maudhu’. Maka janganlah terpedaya dengan disebutkannya perayaan nishfu Sya’ban dalam kitab Quutul Quulub, Al-Ihya’ dan lain-lain.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 144)<br /><br />Al-Iraqi رحمه الله berkata: “Hadits tentang shalat di malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits batil. Bahkan Ibnul Jauzi رحمه الله memasukkannya ke dalam hadits-hadits maudhu’ (palsu).”<br /><br /><strong>2. Dzikir dan Shalat Khusus pada Malam Nishfu Sya’ban</strong><br /><br />Adapun dzikir dan shalat khusus pada malam nishfu Sya’ban tidak disunnahkan dan tidak diriwayatkan dalam satu hadits pun yang shahih.<br /><br />Adapun riwayat yang berbunyi:<br /><br /><div align="right"><strong><span style="font-size:180%;">إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. (رواه ابن ماجه</span></strong><br /></div><br />“Jika datang malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah dia siang harinya.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Ali رضي الله عنه)<br /><br />Hadits ini disebutkan dalam catatan kakinya: “Sanadnya dha’if, karena kelemahan rawi yang bernama Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia memalsukan hadits.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)<br /><br />Syaikh Al-Albani رحمه الله menyebutkan hadits di atas palsu (maudhu’) dalam Dha’if Ibnu Majah, 1/294. (pent.)<br /><br />Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun shalat enam raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan niat tolak bala, memanjangkan umur, mencukupkan diri dari manusia; demikian pula membaca surat Yasin dan do’a di antara shalat tersebut tidak ragu lagi yang demikian adalah perkara baru (muhdats) dalam agama dan menyelisihi sunnah sayyidul mursalin. (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)<br /><br />Berkata pensyarah kitab Al-Ihya’: “Shalat yang demikian (yakni 6 raka’at pada malam nishfu Sya’ban) sangat terkenal dalam kitab-kitab belakangan dari kitab-kitab sufi. Padahal aku tidak pernah melihat adanya sandaran yang shahih dari sunnah dalam masalah tersebut, demikian pula dalam masalah dzikir-dzikirnya.”<br /><br />Berkata An-Najm Al-Ghaiti tentang menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berjama’ah: “Yang demikian diingkari oleh kebanyakan para ulama dari penduduk Hijaz seperti Atha’ ibnu Abi Rabah, Ibnu Abi Malikah dan lain-lain. Demikian pula fuqaha Madinah dan para pengikut Imam Malik. Mereka semua berkata: “Perkara tersebut semuanya bid’ah, tidak disebutkan dalam masalah menghidupkan malam nishfu Sya’ban sedikit pun dari hadits Nabi صلى الله عليه وسلم dan tidak pula dari para shahabatnya.”<br /><br />Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Shalat Rajab dan Sya’ban kedua-duanya adalah bid’ah yang mungkar dan jelek.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)<br /><br /><strong>3. Do’a Yaa Dzal Manni</strong><br /><br />Demikian pula bid’ahnya doa khusus pada malam nishfu Sya’ban yang berbunyi:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>اللّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلاَ يَمن عَلَيْهِ يَا ذَا لْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ</strong></span><br /></div><br /><br />Ya Allah, wahai pemilik segala pemberian dan tidak pernah membutuhkan pemberian. Wahai Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi….<br /><br />Telah diisyaratkan dalam ucapan pensyarah kitab Al-Ihya’ bahwa do’a tersebut tidak ada asalnya dan tidak ada sandarannya.<br /><br />Demikian pula dikatakan oleh penulis kitab Asnal-Mathalib, bahwa doa itu disusun oleh beberapa orang shalih dari dirinya sendiri. Dikatakan dia adalah Al-Buni.<br /><br />Tentunya walaupun kita boleh berdoa dengan apa pun yang kita minta kepada Allah, namun tidak boleh mengkhususkan satu doa untuk tanggal tertentu, bulan tertentu tanpa dalil dari hadits-hadits yang shahih.<br /><br />Maka wahai hamba Allah, jika satu ibadah tidak diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sunnah, bahkan tidak pula oleh para khalifah-khalifahnya dan seluruh para shahabatnya, maka janganlah kita beribadah dengannya.<br /><br />Dalam Musnad Imam Syafi’i رحمه الله diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkan talbiyah dengan kalimat:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>لَبَّيْكَ إِلَهَ الْحَقّ لَبَّيْكَ</strong></span><br /></div><br />Dalam riwayat lain:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ</strong></span><br /></div><br /><br />Kemudian diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqash mendengar beberapa orang dari kaum kerabatnya membaca talbiyah:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>يَا ذَا الْمَعَارِجِ</strong></span><br /></div><br />Maka Sa’ad bin Abi Waqash berkata:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>إِنَّهُ لَذُوْ الْمَعَارِجِ، وَمَا هَكَذَا كُنَّا نَلْبِي عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ</strong></span><br /></div><br />“Memang benar bahwa Allah memiliki Ma’arij, tetapi tidak demikian kita diajarkan talbiyah pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم.”<br /><br />Atsar ini menunjukkan betapa besar kehati-hatian para shahabat dalam beribadah. Tidak berani merubah kalimat-kalimat apalagi menambahinya. Ketika mendengar sebagian kaum muslimin mengucapkannya dengan kalimat yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم -walaupun secara makna benar- mereka menegurnya, seperti apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash di atas.<br /><br /><strong>Nishfu Sya’ban bukan Lailatul Qadar</strong><br /><br />Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun pendapat yang mengatakan bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam lailatul qadar, maka itu adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan para ulama dari kalangan ahlul hadits dan para peneliti hadits.<br /><br />Imam Ibnu Katsir رحمه الله juga menyatakan batilnya pendapat ini dalam tafsir beliau.<br /><br />Imam Ibnul Arabi رحمه الله juga menyatakan -ketika mensyarah hadits Tirmidzi-: Telah disebutkan oleh sebagian penafsir bahwa ayat:<br /><br /><div align="right"><span style="font-size:180%;"><strong>إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. (القدر: ١)</strong></span><br /></div><br />“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” (Al-Qadr: 1)<br /><br />Bahwa yang dimaksud adalah malam nishfu Sya’ban.<br /><br />Ini adalah pendapat batil, karena Allah tidak menurunkan Al-Qur’an pada bulan Sya’ban. Hanya saja Allah سبحانه وتعالى katakan: “Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” Sedangkan malam lailatul qadar adalah pada bulan Ramadhan sebagaimana Allah katakan dalam ayat lain:<br /><br /></span><div align="right"><span class="fullpost"><span style="font-size:180%;">شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدى وَالْفُرْقَانِ… (البقرة: ١٨٥)</span></span><span class="fullpost"><br /><br /><br /><div align="justify">“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan dan bathil)” (Al-Baqarah: 185) (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 146)<br /></div><br /><div align="justify">Berarti pendapat ini adalah pendapat yang menentang Al-Qur’an dan pendapat orang yang tidak mengerti apa yang dibicarakan di dalamnya.<br /></div><br /><div align="justify">Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi رحمه الله berkata:<br /></div><br /><div align="justify">Maka aku peringatkan kalian dari kebid’ahan ini, karena sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى juga menyatakan:<br /></div></span><strong><span style="font-size:180%;"><span class="fullpost"><br />فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. (الدخان: ٤)</span></span></strong><span style="font-size:180%;"><span class="fullpost"><br /></span></span><span class="fullpost"><br /><br /><div align="justify"><br />“Padanya diputuskan segala perkara-perkara dengan bijak.” (Ad-Dukhan: 4)<br /><br />Ayat ini menerangkan tentang malam lailatul qadar yang diberkahi yang padanya diputuskan perkara-perkara taqdir dengan adil. Dan ini bukan terjadi pada malam nishfu Sya’ban.<br /><br />Wallahu ‘alam<br /><br /></div>Catatan:<br /><br /><div align="justify">Perkataan-perkataan para ulama di atas dinukil dari kitab As-Sunan wal Mubtada’at oleh Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi, hal. 144-146; kitab ini ditaqdim oleh Muhammad Khalil Harras)<br /><br />(Sumber: Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 114/Th. III/16 Rajab 1427H/11 Agustus 2006M, hal. 1-4. Judul: Keutamaan Bulan Sya’ban. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956. Dinukil untuk http://akhwat.web.id)<br /><br /><br />Sumber : Abdurrahman al Bayati<br /></div></span></div></div><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3132747422615946546.post-26355955162815118002008-09-18T17:39:00.002+07:002008-11-03T13:27:24.056+07:00Membongkar Kedok Jamaah Tabligh<div align="justify"><div align="center"><i><br />Sebuah kelompok sempalan yang menyimpang dari manhaj salaf yang harus kita waspadai. Simaklah pembahasannya berikut ini!</i><br /></div><br /><br /><strong>Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc</strong><br /><br /><br />Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai ‘biang pemecah belah umat’, membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.<br /><br />Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.<br /><span class="fullpost"><br /><br /><strong><span style="font-size:180%;">Pendiri Jamaah Tabligh</span></strong><br />Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma’il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.<br /><br />Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).<br /><br /><span style="font-size:180%;"><strong>Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh</strong></span><br />Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jama’ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama’atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)<br /><br />Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).<br /><br /><span style="font-size:180%;"><strong>Markas Jamaah Tabligh</strong></span><br />Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)<br /><br />Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allahu ta’ala. (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)<br /><br /><span style="font-size:180%;"><strong>Asas dan Landasan Jamaah Tabligh</strong></span><br />Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:<br /><br /><strong>Sifat Pertama:</strong> Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah<br />Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).<br /><br />Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-’Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara ‘keistimewaan’ Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).<br /><br /><strong>Sifat Kedua: </strong>Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri<br />Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).<br /><br /><strong>Sifat ketiga: </strong>Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir<br />Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.<br /><br />Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).<br /><br /><strong>Sifat Keempat:</strong> Menghormati Setiap Muslim<br />Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut ‘alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)<br /><br /><strong>Sifat Kelima: </strong>Memperbaiki Niat<br />Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)<br /><br /><strong>Sifat Keenam:</strong> Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata’ala<br />Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)<br /><br />Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)<br /><br />Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)<br /><br /><span style="font-size:180%;"><strong>Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya</strong></span><br />Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah2:<br /><ul><li>Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).<br /></li><li>Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).<br /></li><li>Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).<br /></li><li>Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).<br /></li><li>Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).<br /></li><li>Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).<br /></li><li>Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da’wah fi Jaziratil ‘Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).<br /></li><li>Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).<br /></li><li>Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).<br /></li><li>Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama’atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).<br /></li><li>Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.<br /></li></ul><br /><div align="center"><span style="font-size:180%;"><strong><i>Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh</i></strong></span><br /></div><br /><ul><li><strong><i>Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:</i></strong> “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.<br /></li></ul><ul><li><strong><i>Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: </i></strong>“Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.<br /></li></ul><ul><li><strong><i>Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata:</i></strong> “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.<br /></li></ul><ul><li><strong><i>Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:</i></strong> “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.<br /></li></ul><ul><li><i><strong>Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi berkata:</strong></i> “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.<br /></li></ul><br />Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.<br /><br />Sumber : <a href="www.akhmukhtar.blogspot.com">Abu Nashir</a><br /></span></div><div class="blogger-post-footer">Sunnah Itu Indah</div>Abu Abdillah Muhammad Ibnu Hasanhttp://www.blogger.com/profile/10176390332168259145noreply@blogger.com1